Indonesia dan China Jalin Kemitraan Strategis dalam Pengembangan Energi Surya Terbarukan
markdown Momentum peringatan 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan China menjadi landasan strategis untuk memperkuat kerja sama di sektor energi terbarukan. Fokus utama kemitraan ini adalah pengembangan teknologi panel surya dan infrastruktur energi hijau di Indonesia.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan bahwa kolaborasi dengan China akan mempercepat transisi energi, memacu pertumbuhan ekonomi hijau, dan mengatasi tantangan perubahan iklim global. Penegasan ini muncul dalam forum "High-Level Dialogue: Advancing Indonesia-China Cooperation on Clean Energy and Green Development" di Beijing.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyampaikan bahwa potensi teknis energi terbarukan Indonesia sangat besar, mencapai lebih dari 7.700 gigawatt (GW), jauh melampaui angka resmi pemerintah. Energi surya diidentifikasi sebagai sumber daya terbesar yang dapat dimanfaatkan secara signifikan.
Fabby menjelaskan bahwa pemanfaatan energi surya secara masif, didukung dengan teknologi penyimpanan daya dan modernisasi jaringan listrik, adalah cara yang paling efektif dan efisien untuk melakukan dekarbonisasi sektor kelistrikan.
Menanggapi keraguan tentang keandalan energi surya dan angin di Indonesia karena sifatnya yang intermiten, Fabby menunjuk pada keberhasilan negara lain seperti China, India, dan Australia dalam mengatasi tantangan ini. Mereka memanfaatkan teknologi penyimpanan energi canggih seperti baterai lithium-ion, sodium-ion, dan teknologi solid-state. Selain itu, penyimpanan daya hidro terpompa (pumped hydro storage) dan hidrogen juga menjadi solusi pelengkap yang menjanjikan.
"Peluang kemitraan strategis antara Indonesia dan China sangat besar untuk membangun ekosistem teknologi energi surya," ujar Fabby. Ia mengusulkan inisiatif "China-Indonesia Solar Partnership" yang komprehensif. Inisiatif ini mencakup:
- Produksi teknologi sel dan modul surya generasi baru
- Elektrifikasi kepulauan Indonesia menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan sistem penyimpanan daya (Battery Energy Storage System/BESS) untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD)
- Riset bersama untuk mengembangkan PLTS yang cocok dengan iklim tropis Indonesia.
Inisiatif ini juga mendorong pembiayaan hijau untuk manufaktur dan rantai pasok PLTS, pembangkit tenaga surya, serta kolaborasi dalam penurunan emisi karbon dan perdagangan karbon internasional dari proyek PLTS skala besar.
"Kemitraan ini akan menggabungkan keunggulan teknologi surya China dengan kebutuhan Indonesia untuk membangun industri hijau sebagai motor pertumbuhan ekonomi baru," kata Fabby. Ia menambahkan bahwa kemitraan ini berpotensi menjadi bagian dari rencana besar hubungan bilateral yang baru dan dapat diresmikan pada tahun ini.
Wakil Kepala Perwakilan RI di Beijing, Parulian Silalahi, menyoroti bahwa transisi energi tidak hanya mengurangi emisi tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan peluang investasi. Beberapa investor asing, seperti Trina Solar dari China dan SEG Solar dari Amerika Serikat, telah mendirikan pabrik panel surya di Jawa Tengah. Ia menambahkan bahwa China memiliki peluang besar tidak hanya sebagai pemasok suku cadang, tetapi juga untuk membangun rantai pasok terintegrasi di Indonesia, yang akan mempercepat transisi energi di Indonesia dan Asia Tenggara.
Direktur Eksekutif BRI Green Development Institute, Zhang Jianyu, menekankan bahwa krisis iklim adalah ancaman global yang paling berat dampaknya dirasakan oleh negara berkembang. Ia percaya bahwa kerja sama Indonesia dan China di bidang energi terbarukan dapat menjadi model kolaborasi global yang sukses. Perusahaan-perusahaan China seperti JA Solar, Trina Solar, dan Jinko Solar memiliki peran penting dalam memasok panel surya dan keahlian teknis yang dibutuhkan.