Kenaikan Pajak Rumah di Kota: Strategi Kontroversial Dorong Hunian Vertikal?
Wacana kenaikan pajak properti di wilayah perkotaan, khususnya bagi rumah tapak, kembali mencuat. Usulan ini, yang digulirkan oleh Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), bertujuan untuk mengarahkan masyarakat agar lebih memilih tinggal di rumah susun atau apartemen.
Namun, gagasan ini menuai kritik dari berbagai pihak. CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, menilai bahwa pendekatan tersebut kurang tepat. Menurutnya, pajak bukanlah solusi utama untuk mengatasi permasalahan hunian di Indonesia. Alih-alih menaikkan pajak rumah, pemerintah sebaiknya memberikan insentif untuk kepemilikan apartemen.
Tranghanda menjelaskan bahwa kenaikan pajak rumah justru akan berdampak negatif. Harga rumah akan semakin melambung, sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Jika tujuan pemerintah adalah untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap hunian vertikal, maka seharusnya fokus diberikan pada insentif yang menarik bagi calon penghuni rumah susun.
Beberapa insentif yang dapat dipertimbangkan antara lain:
- Pengurangan pajak: Memberikan keringanan pajak bagi pembeli atau pemilik apartemen.
- Suku bunga kredit yang lebih rendah: Menawarkan suku bunga KPR yang lebih kompetitif untuk pembelian apartemen.
- Fasilitas transportasi: Menyediakan akses transportasi yang memadai bagi penghuni apartemen, misalnya bus khusus atau subsidi transportasi.
Tranghanda menambahkan bahwa kenaikan pajak rumah tidak akan serta merta membuat masyarakat berbondong-bondong pindah ke apartemen. Sebaliknya, kebijakan ini justru berpotensi menimbulkan masalah baru, terutama bagi para pelaku bisnis properti. Kenaikan pajak akan mendorong harga rumah semakin tinggi, yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah pembeli.
Sebelumnya, Wakil Menteri PKP Fahri Hamzah menyatakan bahwa kenaikan pajak rumah tapak di perkotaan diperlukan karena ketersediaan lahan semakin terbatas. Hunian vertikal dianggap sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal di tengah kepadatan penduduk kota. Fahri juga mengakui bahwa budaya tinggal di apartemen belum begitu populer di Indonesia, sehingga perlu adanya upaya untuk mempromosikan gaya hidup tersebut.