Eksploitasi Sumber Daya Alam Picu Deforestasi Global: Indonesia Peringkat Teratas

Aktivitas pertambangan di berbagai belahan dunia telah menjadi penyebab signifikan hilangnya tutupan hutan secara global. Berdasarkan data yang dihimpun oleh University of Maryland dan studi kolaboratif lainnya, ekspansi industri ekstraktif ini semakin merambah kawasan hutan, mengakibatkan deforestasi yang mengkhawatirkan. Dalam rentang waktu 2001 hingga 2020, dunia telah kehilangan sekitar 1,4 juta hektar hutan akibat operasi pertambangan.

World Resources Institute (WRI) menyoroti bahwa dari total kehilangan tutupan pohon tersebut, sekitar 450 ribu hektar terjadi di hutan hujan tropis primer, yang merupakan ekosistem dengan keanekaragaman hayati dan cadangan karbon yang sangat tinggi. Selain itu, 150 ribu hektar berada di kawasan lindung, dan 260 ribu hektar di tanah milik masyarakat adat dan lokal. Hilangnya hutan tropis primer akibat pertambangan sangat mengkhawatirkan karena hutan ini berperan penting dalam mengatur iklim lokal dan regional, termasuk curah hujan dan suhu.

Berikut adalah daftar 10 negara yang mengalami kehilangan hutan terbesar akibat pertambangan selama periode 2001-2020 menurut data WRI:

  • Indonesia - 369.356 hektare
  • Brasil - 167.543 hektare
  • Rusia - 132.709 hektare
  • Amerika Serikat - 120.730 hektare
  • Kanada - 117.790 hektare
  • Peru - 69.186 hektare
  • Ghana - 59.595 hektare
  • Suriname - 56.351 hektare
  • Myanmar - 52.454 hektare
  • Australia - 44.777 hektare

Studi dari World Wildlife Fund (WWF) mengungkapkan bahwa Indonesia menyumbang 57 persen dari total kehilangan tutupan pohon terkait dengan ekstraksi batubara antara tahun 2000 dan 2019. Aktivitas pertambangan di Indonesia telah memberikan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan.

Selain kerusakan ekosistem dan peningkatan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, hilangnya tutupan hutan akibat pertambangan juga berdampak buruk bagi masyarakat adat dan lokal. Mereka seringkali dikecualikan dari proses pengambilan keputusan terkait izin pertambangan dan tidak mendapatkan kompensasi yang memadai atas hilangnya hutan, air, dan sumber daya alam lainnya yang menjadi tumpuan hidup mereka.

Laporan dari Earth.org juga menyoroti bahwa operasi pertambangan sering menyebabkan pencemaran lingkungan. Kebocoran dari aktivitas tambang dapat mencemari air dengan zat-zat berbahaya seperti sianida, merkuri, atau arsenik. Dampak operasi penambangan terhadap lahan di sekitarnya juga sangat bergantung pada kondisi ekologi lokasi penambangan. Misalnya, penggundulan hutan primer untuk penambangan bijih besi di hutan hujan tropis Gabon akan menyebabkan kerusakan ekologi yang lebih besar dan berjangka panjang dibandingkan dengan penambangan bijih besi di padang pasir Australia utara.

Perusakan vegetasi dan tanah akibat pembukaan lahan untuk pertambangan juga berkontribusi terhadap pelepasan karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya ke atmosfer.

WRI menekankan pentingnya mengurangi hilangnya hutan akibat pertambangan sambil melindungi hak dan manfaat ekonomi masyarakat rentan. Mereka menyerukan perlindungan yang lebih baik bagi masyarakat adat dan mata pencaharian mereka, pengakuan hak atas tanah dan sumber daya bagi masyarakat adat dan lokal, serta akses terhadap peringatan deforestasi secara real-time untuk penegakan hukum yang tepat waktu.