Eksploitasi Anak di Mataram: Pengusaha dan Kakak Korban Ditetapkan Sebagai Tersangka

Kasus dugaan eksploitasi anak di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), memasuki babak baru. Tim penyidik Polda NTB telah menetapkan dua orang tersangka, yakni seorang pengusaha berinisial MAA dan seorang ibu rumah tangga (IRT) berinisial ES.

MAA, seorang pengusaha asal Mataram, diduga kuat terlibat dalam eksploitasi seorang anak perempuan berusia 13 tahun. Sementara itu, ES, yang merupakan kakak kandung dari korban, diduga berperan dalam memfasilitasi terjadinya tindak pidana tersebut. Tragisnya, akibat kejadian ini, korban diketahui telah melahirkan beberapa waktu lalu.

AKBP Ni Made Pujewati, Kasubdit IV Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB, menyatakan bahwa pihaknya tengah mendalami lebih lanjut indikasi adanya unsur pedofilia dalam kasus ini. Penyelidikan difokuskan untuk memastikan apakah MAA dapat dikategorikan sebagai pelaku pedofilia. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, yang menyebutkan bahwa pihaknya masih mengumpulkan informasi terkait kemungkinan adanya kecenderungan pedofilia dalam kasus ini. Joko Jumadi menambahkan bahwa korban telah ditempatkan di rumah aman dan dipastikan akan melanjutkan pendidikannya.

Terkait penahanan, MAA saat ini telah ditahan di Polda NTB. Namun, ES tidak ditahan dengan pertimbangan kemanusiaan karena masih memiliki bayi berusia dua bulan yang membutuhkan perawatan.

Atas perbuatan mereka, kedua tersangka dijerat dengan ancaman hukuman pidana yang cukup berat. MAA terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp 300 juta. Sementara ES terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp 200 juta.

Berikut adalah poin-poin penting terkait kasus ini:

  • Tersangka: MAA (pengusaha) dan ES (IRT, kakak korban)
  • Korban: Anak perempuan berusia 13 tahun
  • Dugaan Tindak Pidana: Eksploitasi anak
  • Ancaman Hukuman:
    • MAA: Maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda Rp 300 juta
    • ES: Maksimal 10 tahun penjara dan/atau denda Rp 200 juta
  • Status Korban: Telah ditempatkan di rumah aman dan akan melanjutkan pendidikan