Dokter Kandungan di Garut Segera Diadili Atas Dugaan Tindak Asusila, Kajari Turun Tangan

Kasus dugaan tindak asusila yang melibatkan seorang dokter kandungan bernama M. Syafril Firdaus, atau yang lebih dikenal dengan Dokter Iril, di Garut, Jawa Barat, memasuki babak baru. Berkas perkara kasus ini telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut dan siap untuk disidangkan di pengadilan.

Kasus ini mencuat ke publik setelah beredarnya sebuah video di media sosial yang memperlihatkan proses pemeriksaan seorang ibu hamil yang diduga disertai dengan tindakan tidak senonoh oleh Dokter Iril. Akibatnya, masyarakat luas menjadi berang dan kasus ini mendapat perhatian khusus dari aparat penegak hukum.

Pada Rabu, 11 Juni 2025, Polres Garut secara resmi melimpahkan berkas perkara, barang bukti, dan tersangka Dokter Iril kepada Kejari Garut. Kepala Kejaksaan Negeri Garut, Helena Octavianne, mengonfirmasi bahwa setelah melalui pemeriksaan, berkas perkara tersebut telah memenuhi unsur dan dinyatakan lengkap, sehingga siap untuk diajukan ke pengadilan. "Kami tinggal menunggu jadwal persidangan dari pengadilan," ujarnya.

Dalam berkas perkara tersebut, terdapat keterangan dari lima orang saksi korban yang diduga mengalami tindakan serupa, serta beberapa saksi ahli yang kompeten di bidangnya. Selain itu, penyidik juga menyertakan sejumlah barang bukti, termasuk pakaian yang dikenakan korban saat kejadian dan sebuah flashdisk yang berisi rekaman CCTV yang merekam dugaan tindakan asusila yang dilakukan oleh Dokter Iril di ruang praktiknya.

Setelah video tersebut viral, pihak kepolisian bergerak cepat melakukan penyelidikan dan berhasil mengamankan Dokter Iril di klinik tempat ia berpraktik, yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Garut Kota. Penangkapan tersebut dilakukan untuk mencegah Dokter Iril melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.

Menariknya, Kepala Kejaksaan Negeri Garut, Helena Octavianne, menyatakan akan turun langsung dalam persidangan kasus ini sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU). Langkah ini diambil sebagai bentuk keseriusan Kejari Garut dalam menangani kasus ini dan memastikan bahwa hukum ditegakkan seadil-adilnya. "Ini bukan masalah saya harus jadi JPU atau tidak, saya hanya ingin memperlihatkan bahwa hukum bisa ditegakkan," tegas Helena.

Selain itu, Kejari Garut telah menunjuk empat orang jaksa sebagai tim JPU dalam kasus ini, terdiri dari dua jaksa laki-laki dan dua jaksa perempuan, termasuk Helena Octavianne sendiri. Hal ini menunjukkan komitmen Kejari Garut untuk menangani kasus ini secara profesional dan komprehensif.

Guna memberikan akses keadilan yang lebih baik bagi perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas, Kejari Garut juga telah membentuk Posko Akses Keadilan. Inisiatif ini merupakan yang ketiga kalinya dilakukan oleh kejaksaan di Indonesia, setelah sebelumnya didirikan di Kejari Pandeglang dan Medan. Langkah ini diharapkan dapat mempermudah para korban tindak kekerasan atau diskriminasi untuk mendapatkan bantuan hukum dan pendampingan psikologis.

Helena Octavianne menegaskan bahwa Kejari Garut berkomitmen untuk terus melakukan berbagai upaya dalam mendukung proses akses keadilan bagi perempuan dan anak-anak, serta memastikan bahwa setiap pelaku kejahatan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran bagi semua pihak agar lebih berhati-hati dalam bertindak dan menghormati hak-hak orang lain.