Medan: Antara Opini WTP dan Realitas Kesenjangan Sosial
Kota Medan, yang kerap mendapat julukan "Gotham City" Indonesia, menghadapi ironi yang mencolok antara prestasi fiskal dan tantangan sosial yang mendalam. Ungkapan "Jangankan laporan, pagar pun bersih" menggambarkan kontras ini dengan tajam, menyiratkan bahwa di balik fasad yang rapi, terdapat realitas yang kurang menggembirakan.
Kota ini secara konsisten meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangannya. Namun, predikat ini tidak sejalan dengan masalah sosial yang terus menghantui kota ini. Tingkat pengangguran yang tinggi dan peningkatan angka kriminalitas menjadi bukti nyata adanya kesenjangan antara keberhasilan administrasi dan kesejahteraan masyarakat.
Paradoks Opini WTP
Opini WTP, sebagai standar tertinggi dalam audit sektor publik, seharusnya mencerminkan pengelolaan keuangan yang baik dan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Namun, dalam kasus Medan, opini WTP tampaknya tidak menjamin efektivitas dan dampak positif bagi masyarakat. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK sendiri mengakui adanya kelemahan dalam sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, meskipun opini WTP tetap diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan formal tidak selalu sejalan dengan kinerja yang optimal.
Orientasi birokrasi terhadap kepatuhan simbolik dapat mengalihkan perhatian dari tujuan utama penggunaan dana publik, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat. Obsesi untuk meraih opini WTP dapat mendorong pemerintah kota untuk fokus pada pemenuhan persyaratan administratif, tanpa memperhatikan efektivitas program dan dampaknya terhadap kehidupan warga.
Penyakit Turunan dalam Pengelolaan Keuangan
Analisis lebih mendalam terhadap temuan audit BPK mengungkap adanya pola "penyakit turunan" dalam pengelolaan keuangan Kota Medan. Kelemahan sistemik ini terus berulang dari tahun ke tahun, bahkan di bawah naungan opini WTP.
- Belanja langsung yang tidak efektif: Kelebihan pembayaran gaji, perjalanan dinas, dan honorarium menjadi masalah kronis. Proyek-proyek pekerjaan umum sering kali bermasalah dengan kekurangan volume dan kegagalan spesifikasi, sehingga kota membayar harga penuh untuk pekerjaan yang tidak sesuai dengan standar.
- Pengelolaan hibah dan bantuan sosial yang kabur: Salah klasifikasi dana hibah dan bantuan sosial menghambat evaluasi yang efektif terhadap dampak program-program tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah bantuan yang diberikan benar-benar sampai kepada yang membutuhkan.
- Pengelolaan aset daerah yang buruk: Aset-aset daerah, seperti peralatan, mesin, dan tanah, sering kali tidak dapat dilacak atau digunakan oleh pihak ketiga tanpa perjanjian yang jelas. Hal ini mengakibatkan hilangnya potensi pendapatan bagi daerah.
Temuan-temuan audit ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga berkontribusi langsung terhadap masalah sosial di Medan. Miliaran rupiah yang hilang akibat inefisiensi dan pengelolaan yang buruk seharusnya dapat diinvestasikan dalam program penciptaan lapangan kerja, jaring pengaman sosial, dan inisiatif pencegahan kejahatan.
Ironi Pagar yang Terawat Baik
Paradoks antara reputasi fiskal yang baik dan realitas sosial yang memprihatinkan menggambarkan ironi "pagar yang terawat baik". Opini WTP memberikan citra akuntabilitas, tetapi kondisi layanan publik dan kesejahteraan sosial di dalam "rumah" tersebut justru mengalami pengabaian kronis dan disfungsi sistemik.
Hal ini menunjukkan bahwa budaya tata kelola di Medan lebih berfokus pada kepatuhan prosedural daripada dampak substantif. Proses audit yang ada, meskipun mampu mengidentifikasi masalah, belum mampu mendorong reformasi yang berarti.
Sudah saatnya untuk melakukan pergeseran fokus dari tata kelola yang berorientasi pada penampilan menjadi tata kelola yang berorientasi pada hasil nyata. Keberhasilan sebuah kota seharusnya diukur dari kesejahteraan rakyatnya, keamanan lingkungannya, dan peluang yang tersedia bagi warganya, bukan hanya dari laporan audit yang bersih.