Eksploitasi Nikel di Raja Ampat Berpotensi Ancam Industri Perikanan Tuna Skala Luas
Eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat, memicu kekhawatiran serius terkait keberlanjutan ekosistem laut dan dampaknya terhadap sektor perikanan. Menurut Victor Nikijuluw, Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia, aktivitas pertambangan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan mengancam perekonomian jangka panjang, terutama industri perikanan tuna.
"Dampak eksternal terhadap perikanan akibat aktivitas lain seperti pertambangan, sangat mungkin menjadi ancaman besar," ujar Victor.
Salah satu dampak utama yang disoroti adalah terganggunya penyebaran larva ikan akibat aktivitas pertambangan. Penelitian oleh Konservasi Indonesia menunjukkan bahwa larva ikan yang berkembang biak di perairan dekat lokasi tambang dapat terbawa arus ke wilayah lain, sehingga memengaruhi populasi ikan secara keseluruhan. Jenis ikan yang paling rentan terhadap dampak ini adalah cakalang dan tuna.
Pulau Waigeo di Raja Ampat merupakan jalur migrasi penting bagi kedua jenis ikan tersebut. Kerusakan ekosistem laut di wilayah ini dapat menyebabkan penurunan drastis populasi tuna dan cakalang, tidak hanya di Raja Ampat, tetapi juga di wilayah perairan yang lebih luas seperti Laut Banda, Teluk Tomini, hingga Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Konsekuensi dari penurunan populasi ikan ini akan dirasakan oleh para nelayan dan masyarakat pesisir di berbagai wilayah, termasuk Gorontalo, Bitung, Ambon, Arafura, dan Maluku Tenggara, yang bergantung pada hasil tangkapan tuna dan cakalang untuk mata pencaharian mereka.
Selain mengancam populasi ikan, kerusakan lingkungan akibat pertambangan juga berpotensi mengganggu jalur migrasi spesies karismatik seperti hiu, manta, dan penyu. Spesies-spesies ini memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan menjadi daya tarik wisata bahari.
Data menunjukkan bahwa sekitar 15 dari 30 jenis mamalia laut yang melintasi perairan Indonesia tercatat melalui dan mendiami perairan Raja Ampat. Jika terjadi pencemaran, spesies-spesies ini kemungkinan besar akan meninggalkan kawasan tersebut sebagai habitat mereka.
Data monitoring dari Konservasi Indonesia dan UNIPA mengungkapkan perbedaan kondisi terumbu karang antara kawasan konservasi dan wilayah di luar kawasan konservasi. Di kawasan konservasi seperti KKP Kepulauan FAM dan KKP Kepulauan Misool, tutupan karang keras hidup mencapai lebih dari 30 persen, menjadi habitat penting bagi ikan-ikan kecil yang merupakan sumber pakan utama bagi ikan-ikan besar seperti hiu dan tuna.
Sebaliknya, di luar kawasan konservasi, termasuk SAP Waigeo barat yang berada di dekat lokasi tambang Kawe, tutupan karang hanya berkisar antara 19 hingga 35 persen, bahkan di bawah 19 persen di beberapa titik. Jika pencemaran terus terjadi, ikan-ikan kecil akan menghilang, diikuti oleh penurunan populasi spesies predator yang lebih besar.
Victor menekankan bahwa kerugian akibat hilangnya spesies-spesies yang melintasi atau menghuni kawasan Raja Ampat dapat mencapai ratusan kali lipat jika dampak negatif ini diperhitungkan secara komprehensif.