Mahfud MD Soroti Argumen Hukum Pemakzulan Gibran yang Diajukan Purnawirawan TNI

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menanggapi desakan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang disuarakan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Menurut Mahfud, argumentasi hukum yang diajukan oleh para purnawirawan tersebut memiliki dasar yang kuat.

Mahfud menjelaskan hal ini saat menjawab pertanyaan dalam sebuah siniar (podcast) bertajuk "Terus Terang Mahfud MD". Dalam perbincangan tersebut, ia merinci dasar-dasar konstitusional yang memungkinkan seorang presiden atau wakil presiden diberhentikan dari jabatannya.

Dasar-dasar tersebut, mengacu pada Pasal 7A hasil amendemen UUD 1945, meliputi:

  • Pengkhianatan terhadap negara
  • Korupsi
  • Penyuapan
  • Kejahatan berat (dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara atau lebih)
  • Perbuatan tercela
  • Keadaan yang menyebabkan pejabat tidak lagi memenuhi syarat jabatan

Mahfud menyoroti bahwa kategori "perbuatan tercela" sangatlah subjektif dan bergantung pada penilaian politik serta konteks sosial yang berkembang. Ia mencontohkan kasus seorang Perdana Menteri Thailand yang dimakzulkan karena dianggap mencederai martabat jabatan hanya karena mengikuti lomba masak.

Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan bahwa alasan "keadaan" dalam Pasal 7A dapat mencakup kondisi seperti kehilangan kewarganegaraan, sakit permanen yang dibuktikan oleh keterangan dokter, atau pengunduran diri.

Kendati mengakui adanya dasar hukum yang kuat, Mahfud mengingatkan bahwa proses pemakzulan sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang terjadi di parlemen. Ia menekankan bahwa hukum pada dasarnya adalah produk politik, sehingga perubahan situasi politik dapat mempermudah atau mempersulit proses pemakzulan.

Desakan pemakzulan Gibran ini muncul setelah Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengirimkan surat kepada pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI. Dalam surat tersebut, mereka menyoroti bahwa Gibran dapat mencalonkan diri sebagai wakil presiden melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap cacat hukum. Mereka menilai putusan tersebut melanggar prinsip imparsialitas karena diputus oleh Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran.

Selain aspek hukum, Forum Purnawirawan Prajurit TNI juga mempertanyakan kepatutan dan etika Gibran sebagai wakil presiden. Mereka menilai pengalaman Gibran yang minim, hanya dua tahun menjabat sebagai Wali Kota Solo, serta latar belakang pendidikannya yang diragukan, membuatnya tidak pantas menduduki jabatan tersebut.