Mappatoppo: Ritual Syukur Jemaah Haji Makassar di Tanah Suci

Ibadah haji, sebagai rukun Islam kelima, menjadi momen penting bagi umat Muslim di seluruh dunia. Setelah menunaikan rangkaian ibadah haji di Arafah dan Mina, jemaah haji asal Embarkasi Makassar, Sulawesi Selatan, memiliki cara unik untuk merayakannya. Tradisi tersebut bernama Mappatoppo, sebuah ritual yang sarat dengan makna syukur dan pengukuhan gelar haji.

Mappatoppo, yang dapat diterjemahkan sebagai "menutup" atau "mengakhiri," merupakan tradisi khas masyarakat Bugis-Makassar sebagai wujud rasa syukur mendalam atas keberhasilan menyelesaikan ibadah haji. Ritual ini bukan hanya sekadar seremonial, tetapi juga sebuah ekspresi kekhusyukan dan rasa terima kasih kepada Allah SWT atas kesempatan yang diberikan. Tradisi ini menjadi penanda puncak perjalanan spiritual dan simbol keberhasilan meraih predikat haji.

Prosesi Mappatoppo biasanya dilaksanakan di tenda-tenda jemaah setelah menyelesaikan lontar jumrah Aqabah di Mina. Para jemaah mengenakan pakaian ihram putih, melambangkan kesucian dan kebersihan hati. Kemudian, secara bergiliran, mereka mengikuti prosesi "wisuda" yang dipimpin oleh tokoh agama atau ketua rombongan.

Dalam prosesi ini, seorang perwakilan akan menyematkan kain khusus, bisa berupa jilbab bagi wanita atau sorban bagi pria, di kepala jemaah. Penyematan ini melambangkan pengukuhan dan penghormatan atas gelar haji yang telah diraih. Suasana khidmat terasa dengan lantunan shalawat dan doa bersama, memohon keberkahan dan ampunan dari Allah SWT. Mappatoppo juga menjadi ajang untuk mempererat tali persaudaraan antarjemaah yang telah berjuang bersama dalam menunaikan ibadah haji.

Makna Mendalam Mappatoppo

Lebih dari sekadar tradisi, Mappatoppo memiliki makna mendalam bagi jemaah haji asal Makassar. Tradisi ini merupakan:

  • Ungkapan Syukur: Mappatoppo adalah wujud rasa syukur atas nikmat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dengan lancar dan selamat.
  • Pengukuhan Gelar Haji: Prosesi penyematan jilbab atau sorban menjadi simbol pengukuhan gelar haji yang telah diraih, sekaligus pengingat akan tanggung jawab yang menyertai gelar tersebut.
  • Peningkatan Solidaritas: Mappatoppo menjadi ajang untuk mempererat tali persaudaraan antarjemaah yang telah berjuang bersama selama menjalani ibadah haji.
  • Pelestarian Budaya: Tradisi ini menjadi sarana untuk melestarikan budaya Bugis-Makassar di tengah perantauan, sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada dunia.

Menjaga Tradisi di Tanah Suci

Di tengah perbedaan budaya dan bahasa di Tanah Suci, jemaah haji asal Makassar tetap berupaya menjaga dan melestarikan tradisi Mappatoppo. Hal ini menunjukkan kuatnya identitas budaya dan spiritual mereka. Mappatoppo menjadi momen untuk saling berbagi pengalaman, memperkuat kekompakan, dan menumbuhkan rasa syukur bersama.

Tradisi Mappatoppo diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi jemaah haji untuk terus meningkatkan keimanan dan ketakwaan setelah kembali ke tanah air. Gelar haji yang disandang hendaknya tercermin dalam perilaku sehari-hari, menjadi teladan bagi keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Dengan demikian, Mappatoppo bukan hanya sekadar penutup rangkaian ibadah haji, tetapi juga awal dari perjalanan baru sebagai insan yang lebih baik, lebih taat, lebih rendah hati, dan lebih bersyukur kepada Allah SWT.