Korupsi Merajalela: Negara Jangan Cuci Tangan, Rakyat Jangan Jadi Tameng

Kasus korupsi yang terus bermunculan menggerogoti kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Di tengah situasi ini, seringkali muncul seruan yang seolah-olah membela kepentingan rakyat: "Masyarakat harus aktif mengawasi korupsi!"

Seruan ini sepintas lalu terdengar bijak dan demokratis. Namun, jika ditelaah lebih dalam, terdapat kesalahan mendasar, baik secara konseptual maupun dari sisi kelembagaan. Mengapa demikian?

Melempar Tanggung Jawab Negara

Mengandalkan masyarakat sebagai pengawas utama praktik korupsi sama saja dengan mengalihkan tanggung jawab negara kepada pihak yang tidak memiliki otoritas, perlindungan hukum, dan kapasitas struktural yang memadai. Dalam negara hukum (Rechtsstaat), pengawasan terhadap penyelenggara negara bukanlah beban masyarakat, melainkan kewajiban konstitusional yang diemban oleh institusi negara yang berwenang. Tugas pengawasan melekat pada badan-badan negara seperti:

  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
  • Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
  • Kejaksaan
  • Inspektorat Jenderal di setiap kementerian
  • Kepolisian

Menyerahkan fungsi pengawasan kepada rakyat bukan hanya melanggar prinsip negara hukum, tetapi juga menempatkan masyarakat dalam posisi yang rentan. Pelapor korupsi seringkali justru menjadi korban kriminalisasi, intimidasi, atau bahkan kekerasan. Ironisnya, negara seringkali gagal memberikan perlindungan yang memadai kepada mereka yang telah berani mengungkap kebenaran. Lalu, bagaimana pengawasan korupsi oleh masyarakat dapat berjalan efektif?

Partisipasi yang Disalahartikan

Partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi tetaplah penting, tetapi harus dipahami sebagai pelengkap (komplementer), bukan pengganti fungsi negara. Masyarakat adalah pemilik negara dan pemegang kedaulatan tertinggi. Ketika lembaga negara gagal menjalankan fungsi pengawasan, yang harus dibenahi adalah lembaganya, bukan membebani masyarakat dengan tanggung jawab yang bukan seharusnya. Pemerintah seringkali menggunakan narasi "partisipasi rakyat" sebagai kedok untuk menutupi kelemahan pengawasan internal. Hal ini berbahaya, karena melanggengkan budaya impunitas dan menyalahkan rakyat atas maraknya korupsi. Padahal, korupsi adalah pengkhianatan terhadap rakyat, perampokan uang rakyat oleh oknum yang diberikan amanah.

Negara modern seringkali menggunakan teknik pengelolaan sosial terselubung dengan membebani masyarakat untuk memikul tanggung jawab moral dan sosial yang seharusnya menjadi kewajiban institusional negara. Narasi "pengawasan oleh rakyat" menjadi strategi kekuasaan yang melemahkan tanggung jawab negara, melanggengkan ketimpangan struktural. Rakyat terus dibebani kewajiban, sementara lembaga negara tidak menjalankan tugasnya secara serius.

Langkah Korektif

Negara harus berhenti mengelak dari tanggung jawab. Bukan sekadar laporan dari masyarakat yang dibutuhkan, melainkan komitmen kuat dari lembaga negara untuk menjalankan fungsi pengawasan. Sistem audit internal harus diperkuat, pengawasan eksternal harus independen, dan aparat penegak hukum harus bebas dari intervensi politik.

Ruang partisipasi masyarakat harus tetap dibuka dan difasilitasi melalui:

  • Saluran pengaduan
  • Perlindungan whistleblower
  • Keterbukaan informasi

Namun, semua itu hanya efektif jika negara menjalankan perannya secara penuh. Jangan sampai rakyat diminta berteriak di ruang hampa, sementara aparat negara menutup telinga.

Pemerintahan yang baik dibangun melalui lembaga negara yang bersih, bertanggung jawab, dan bekerja berdasarkan hukum. Korupsi adalah kejahatan terstruktur yang dilakukan oleh pemilik kuasa. Hanya negara yang memiliki kekuatan struktural dan legal untuk memutus rantai kekuasaan korupsi.

Membebankan tanggung jawab ini kepada masyarakat adalah langkah yang keliru dan berbahaya. Saatnya negara mengambil kembali tanggung jawabnya dengan tindakan nyata, bukan hanya dengan kata-kata manis. Negara dan pemerintah hadir untuk melayani kepentingan masyarakat, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.