PGI Menyerukan Pertanggungjawaban Ekologis di Raja Ampat Terkait Ancaman Tambang Nikel
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan keprihatinan mendalam terkait potensi kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. PGI menegaskan bahwa gereja memiliki tanggung jawab moral untuk bersuara lantang terhadap eksploitasi alam yang tidak bertanggung jawab.
Sekretaris Umum PGI, Pendeta Darwin Darmawan, melalui siaran persnya menyampaikan, "Gereja tidak boleh diam ketika alam terluka oleh praktik eksploitasi yang merusak. Baik itu industri ekstraktif yang mencemari lingkungan, maupun ekspansi perkebunan yang menyebabkan deforestasi dan dampak sosial lainnya". Pernyataan ini disampaikan atas nama Majelis Pekerja Harian PGI, yang menyoroti krisis ekologis yang ditandai dengan hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem, perubahan iklim, dan ketidakadilan terhadap masyarakat lokal.
PGI menekankan bahwa Raja Ampat, sebagai wilayah dengan keanekaragaman hayati global yang diakui UNESCO, serta warisan budaya dan tujuan wisata kelas dunia, sedang menghadapi ancaman serius dari aktivitas pertambangan nikel. Menurut PGI, alam adalah ciptaan Tuhan yang sakral, dan manusia bukanlah pusat alam, melainkan bagian integral dari alam yang memiliki peran sebagai penatalayan.
"PGI menentang teologi antroposentris tentang alam. Manusia bukan pusat dan pemilik mutlak alam, tetapi merupakan bagian dari alam yang adalah rumah bersama dengan makhluk hidup lainnya," tegas Pendeta Darwin.
Organisasi ini mengapresiasi langkah pemerintah yang telah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik empat perusahaan di Raja Ampat. Meski demikian, PGI mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan audit dan meninjau ulang secara menyeluruh laporan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Analisis Mengenai Dampak Sosial (AMDAS) terkait penambangan nikel di wilayah Kepulauan Raja Ampat.
Kritik juga ditujukan terhadap argumen yang meremehkan dampak pertambangan di pulau-pulau kecil dengan dalih jaraknya dari pusat kawasan Geopark Raja Ampat. PGI mengingatkan bahwa pencemaran alam dapat menyebar luas, seperti yang terjadi pada pencemaran Sungai Jikwa di Tembagapura yang mencapai Timika hingga muara menuju Laut Arafura. Jarak bukanlah jaminan keamanan.
Apabila terbukti ada perusahaan yang melanggar aturan pertambangan dan mencemari lingkungan, PGI mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas dengan menghentikan aktivitas perusahaan tersebut.
Berikut adalah seruan dan desakan PGI yang disampaikan dalam tiga poin:
- Industri pertambangan di Indonesia harus menerapkan pertambangan yang bertanggung jawab serta menerapkan prinsip Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa) atau Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).
- Pemerintah pusat dan daerah harus berhati-hati dalam menerbitkan izin untuk perusahaan pertambangan, dan harus mematuhi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
- Para pimpinan gereja harus menjadi pemimpin sekaligus teladan dalam mempraktikkan dan menyuarakan pertobatan ekologis.