Gowok: Menggali Lebih Dalam Tradisi Seksualitas Jawa dan Warisan Budaya yang Terlupakan

Gowok: Lebih dari Sekadar 'Kamasutra Jawa'

Judul film "Gowok: Kamasutra Jawa" karya Hanung Bramantyo mungkin memancing rasa ingin tahu, tetapi esensi "gowok" jauh melampaui sekadar panduan hubungan intim. Film ini menyelami tradisi Jawa kuno, di mana "gowok" memegang peran penting dalam pendidikan seksualitas dan kehidupan berumah tangga.

Tradisi Gowok dapat ditelusuri hingga awal abad ke-20. Kala itu, para bangsawan dan keluarga kaya di Jawa mempekerjakan perempuan dewasa yang disebut "gowok" untuk membimbing para pemuda, khususnya calon pengantin pria, mengenai seluk-beluk kehidupan rumah tangga. Tugas mereka bukan hanya mengajarkan teknik-teknik berhubungan, tetapi juga menanamkan pemahaman mendalam tentang perasaan perempuan dan pentingnya hubungan yang bijaksana. Profesi ini sangat dihormati dan tidak dianggap tabu, tetapi lebih sebagai guru kehidupan yang membimbing generasi muda menuju pernikahan yang harmonis.

Inspirasi film ini bersumber dari Serat Centhini, sebuah karya sastra Jawa yang komprehensif yang ditulis antara tahun 1814 dan 1823. Kitab ini, yang disusun atas perintah Pangeran Adipati Anom dari Keraton Surakarta dan dipimpin oleh pujangga istana Kyai Yasadipura II, mencakup berbagai aspek kehidupan Jawa, termasuk filsafat, spiritualitas, seksualitas, dan kuliner. Dalam Serat Centhini, seksualitas dibahas secara puitis dan filosofis sebagai bagian integral dari perjalanan hidup dan spiritualitas manusia.

Hanung Bramantyo memilih judul "Kamasutra Jawa" untuk menarik perhatian khalayak yang lebih luas. Centhini, meski kaya akan nilai budaya, mungkin kurang dikenal di luar kalangan Jawa. Harapannya, judul yang provokatif ini akan mengundang rasa ingin tahu dan membuka pintu bagi pemahaman yang lebih dalam tentang tradisi Jawa.

Film "Gowok: Kamasutra Jawa" menampilkan jajaran aktor ternama seperti Raihaanun sebagai Nyai Ratri, Reza Rahadian sebagai Kamanjaya, Lola Amaria, Devano Danendra, Alika Jantinia, Donny Damara, dan Slamet Rahardjo. Ceritanya berkisar pada tema cinta, pengkhianatan, dan balas dendam. Ratri, yang dibesarkan oleh seorang gowok bernama Nyai Santi, tumbuh menjadi wanita cantik dan cerdas yang dididik untuk mewarisi ilmu gowok. Konflik muncul ketika Ratri jatuh cinta pada Kamanjaya, seorang pemuda dari keluarga terhormat, yang kemudian mengkhianati janjinya untuk menikahinya. Dua puluh tahun kemudian, Kamanjaya kembali dengan putranya, Bagas, yang jatuh cinta pada Ratri tanpa mengetahui masa lalu kelam yang menghubungkan orang tuanya.

  • Pendidikan Seksualitas yang Bijaksana: Film ini menyoroti bahwa pendidikan seksualitas bukan hal baru dalam budaya Indonesia. Leluhur kita memiliki cara yang santun, spiritual, dan penuh empati untuk mengajarkan tentang cinta dan tubuh. Pendekatan ini berbeda dengan norma-norma Barat yang konservatif yang mulai mendominasi setelah era kolonial, yang menyebabkan banyak budaya lokal, termasuk gowok, dianggap menyimpang.
  • Relevansi di Era Digital: Di era digital saat ini, di mana banyak orang mendapatkan informasi tentang seks dari sumber-sumber yang tidak jelas, film seperti "Gowok" dapat menjadi pengingat bahwa seksualitas bukan hanya tentang teknik, tetapi juga tentang tanggung jawab dan nilai-nilai kemanusiaan.

"Gowok: Kamasutra Jawa" bukan hanya sekadar film erotis, tetapi juga sebuah eksplorasi mendalam tentang tradisi Jawa, cinta, dendam, dan nilai-nilai luhur yang relevan hingga saat ini.