Perjuangan Warga Jatikarya: 25 Tahun Menunggu Ganti Rugi Lahan Tol
Perjuangan Warga Jatikarya: 25 Tahun Menunggu Ganti Rugi Lahan Tol
Selama seperempat abad, warga Jatikarya, Bekasi, berjuang mendapatkan ganti rugi lahan seluas 4,2 hektare yang terdampak proyek Tol Cimanggis-Cibitung. Perjuangan panjang ini berujung pada aksi demonstrasi di Patung Kuda, Jakarta, pada Senin, 10 Maret 2025, dengan harapan dapat menyampaikan langsung keluh kesah mereka kepada Presiden Prabowo Subianto. Mereka membawa sejumlah karton berisi tuntutan dan menceritakan betapa lelahnya mereka menghadapi proses hukum yang berbelit.
Sulaiman, pembela ahli waris Jatikarya, mengungkapkan kekecewaan mendalam atas janji-janji yang tak kunjung ditepati. Meskipun telah memenangkan berbagai persidangan, termasuk Peninjauan Kembali (PK) di tingkat Mahkamah Agung, ganti rugi sebesar Rp 218 miliar yang dititipkan di Pengadilan Negeri Bekasi sejak 2017 hingga kini belum juga mereka terima. "Kami sudah menang di Pengadilan Bekasi, PK1, bahkan PK2. Mau berapa kali lagi kami harus sidang?" ujarnya, menekankan betapa frustasinya mereka menghadapi jalan buntu ini. Mereka merasa dihadapkan pada kekuatan besar yang menyulitkan perjuangan mereka untuk mendapatkan haknya.
Kuasa hukum warga, Dani Bahdani, menjelaskan kronologi kasus ini. Perkara bermula dari penggusuran lahan untuk pembangunan Tol Cimanggis-Cibitung yang mulai beroperasi pada April 2023. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi No. 199/PDT.G/2000/PN BKS yang telah berkekuatan hukum tetap, tanah seluas 381.189 meter persegi dari total 48,5 hektare dinyatakan sebagai milik warga Jatikarya. Putusan ini bahkan telah menetapkan sita jaminan atas lahan sengketa sejak tahun 2000, dan putusan provisi pada 2001 melarang Dephan RI dan Mabes TNI membangun di atas tanah tersebut. Namun, munculnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 yang menyatakan tanah tersebut sebagai aset negara menjadi kendala baru dalam penyelesaian kasus ini.
Dani menambahkan, "Sebelum UU ini ada, sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan tanah ini milik masyarakat. Jadi, bagaimana bisa tiba-tiba diakui sebagai aset negara?" Pertanyaan ini mencerminkan kebingungan dan ketidakadilan yang dirasakan warga Jatikarya. Mereka berharap Presiden dapat turun tangan dan membantu menyelesaikan masalah ini, yang telah menggantung selama 25 tahun. Sebelum menuju Istana Negara, warga melakukan doa bersama, menyatukan tekad untuk memperjuangkan haknya dan menuntut keadilan atas tanah yang telah lama menjadi milik mereka.
Warga Jatikarya juga menuntut ganti rugi atas tanah yang kini dijadikan rumah dinas Mabes Pati. Mereka berharap pemerintah dapat bertindak tegas dan adil, menyelesaikan masalah ini tanpa harus berlarut-larut lagi. Aksi mereka di Patung Kuda menjadi bukti nyata tekad mereka untuk mendapatkan keadilan dan menutup babak perjuangan panjang ini. Mereka berharap Presiden dapat mendengar jeritan hati mereka dan mengambil langkah nyata untuk menegakkan keadilan.
Berikut beberapa poin penting tuntutan warga Jatikarya:
- Penerimaan ganti rugi lahan seluas 4,2 hektare yang telah diputuskan pengadilan sebesar Rp 218 miliar.
- Penyelesaian sengketa lahan yang kini digunakan sebagai rumah dinas Mabes Pati.
- Penegakan hukum yang adil dan transparan dalam kasus ini.
- Perhatian dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah yang telah berlangsung selama 25 tahun.