Polemik Empat Pulau Aceh Masuk Sumut: Sentimen Ketidakadilan dan Luka Sejarah Mencuat

Keputusan pemerintah pusat terkait perpindahan administratif empat pulau dari wilayah Aceh ke Sumatera Utara telah memicu gelombang reaksi keras dan perdebatan mendalam di berbagai kalangan masyarakat Aceh. Lebih dari sekadar perubahan batas wilayah, keputusan ini dipandang sebagai simbol pengabaian terhadap martabat dan komitmen politik yang telah dibangun pasca-perjanjian damai yang mengakhiri konflik berkepanjangan.

Profesor Humam Hamid, seorang sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, menyoroti bahwa langkah ini telah menumbuhkan sentimen ketidakadilan yang mendalam di kalangan masyarakat Aceh. Menurutnya, pulau-pulau tersebut bukan sekadar entitas geografis, melainkan bagian integral dari identitas kolektif yang menyimpan memori pahit konflik, perjuangan panjang untuk otonomi, dan pengorbanan besar yang telah dilakukan untuk mencapai perdamaian.

Prof. Hamid juga menjelaskan, belajar dari pengalaman berbagai wilayah di belahan dunia lain yang memiliki kemiripan karakter dengan Aceh, seperti:

  • Catalonia di Spanyol: Tuntutan pemisahan diri tidak hanya didorong oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh marginalisasi historis dan aspirasi budaya yang diabaikan oleh pemerintah pusat.
  • Skotlandia: Dorongan kemerdekaan muncul dari perasaan bahwa keputusan penting terkait masa depan Skotlandia ditentukan oleh pemerintah pusat di London tanpa mempertimbangkan aspirasi lokal.
  • Mindanao di Filipina Selatan: Konflik berkepanjangan disebabkan oleh kegagalan negara dalam memahami struktur sosial dan religius masyarakat Muslim setempat. Pendekatan militer dan administratif justru memperburuk situasi.

Ia menekankan bahwa Aceh memiliki kesamaan mendasar dengan wilayah-wilayah tersebut, yaitu identitas historis yang kuat, pengalaman relasi yang timpang dengan pusat, dan kesadaran kolektif untuk mempertahankan harga diri wilayah. Dalam konteks ini, pendekatan legalistik semata terhadap pengalihan wilayah hanya akan memperdalam kecurigaan dan berpotensi memicu kembali narasi resistensi yang lebih luas.

Oleh karena itu, Prof. Hamid mendesak pemerintah untuk mengadopsi pendekatan yang lebih empatik, yaitu dengan sungguh-sungguh mendengarkan aspirasi masyarakat Aceh, memahami konteks sosial dan psikologis mereka, serta menghargai memori, identitas, dan martabat lokal. Dengan demikian, kepercayaan publik dapat dipulihkan dan risiko munculnya ketegangan lintas generasi dapat diredam sebelum berkembang menjadi bentuk resistensi yang baru.