Praktik Pungutan Liar di PPDS Anestesi Undip Terungkap dalam Sidang, Mahasiswa Terancam Gagal Ujian
Sidang lanjutan kasus dugaan perundungan dan pemerasan yang melibatkan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) kembali digelar di Pengadilan Negeri Semarang. Dalam persidangan tersebut, terungkap praktik pungutan liar yang berpotensi menghambat kelulusan mahasiswa residen.
Saksi Andriani Widya Ayu Kartika, seorang residen angkatan 69 tahun 2018 dan mantan bendahara residen sejak 2021, memberikan keterangan mengenai Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang telah lama menjadi praktik di lingkungan PPDS Anestesi Undip. Menurut Andriani, pembayaran BOP dapat dilakukan secara tunai atau transfer, namun untuk angkatan almarhum Dr. Aulia Risma, ia tidak memiliki informasi detail.
Besaran BOP bervariasi di setiap angkatan, dengan angkatan Andriani dikenakan sekitar Rp 60 juta. Dana tersebut digunakan untuk berbagai keperluan pendidikan, termasuk SPP, biaya ujian, dan operasional lainnya. Konsekuensi bagi mahasiswa yang tidak membayar BOP cukup berat, yaitu tidak diizinkan mengikuti ujian.
Andriani mengungkapkan bahwa selama menjabat sebagai bendahara residen, seluruh pembayaran BOP dilakukan secara tunai. Ketika ditanya mengenai alasan tidak menggunakan transfer bank, ia menjelaskan bahwa praktik tersebut telah menjadi tradisi turun-temurun. Meskipun BOP disepakati oleh residen dan diketahui oleh kepala program studi (kaprodi), Andriani menegaskan bahwa tidak ada surat resmi dari fakultas atau universitas yang menjadi dasar hukum sistem tersebut. Selama mengelola dana, tidak ada catatan aliran uang yang ditujukan untuk terdakwa Dr. Taufik.
Selain menjabat sebagai bendahara residen, Andriani juga bertugas sebagai bendahara Kelompok Staf Medis (KSM) Anestesi RSUP Dr. Kariadi. Dalam kapasitas ini, ia menjelaskan bahwa staf anestesi mengumpulkan iuran untuk berbagai keperluan operasional KSM, seperti membayar admin, asisten rumah tangga (ART), logistik, biaya Zoom, dan honor penguji PPDS serta pembimbing proposal. Namun, ia tidak dapat mengingat dengan pasti besaran honor tersebut.
Selain Andriani, dua saksi lain, yaitu dr. Novi Aktari Utami dan dr. Sasa Maralani, juga dihadirkan dalam sidang tersebut. Ketiganya mengenal baik para terdakwa, yaitu Dr. Taufik Eko Nugroho (Kapordi PPDS Anestesi), Sri Maryani (staf administrasi), dan Zara Yupita (mahasiswa PPDS).
Sebelumnya, Dr. Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani didakwa memungut uang BOP hingga Rp 80 juta per mahasiswa tanpa dasar hukum yang jelas. Mereka dijerat dengan Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Berikut poin-poin penting yang terungkap dalam sidang:
- Praktik pungutan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) telah lama terjadi di PPDS Anestesi Undip.
- Pembayaran BOP dilakukan secara tunai dan telah menjadi tradisi turun-temurun.
- Besaran BOP bervariasi di setiap angkatan, dengan angkatan saksi dikenakan sekitar Rp 60 juta.
- Mahasiswa yang tidak membayar BOP terancam tidak bisa mengikuti ujian.
- Tidak ada dasar hukum yang jelas untuk pungutan BOP.
- Dana BOP digunakan untuk berbagai keperluan pendidikan dan operasional KSM Anestesi RSUP Dr. Kariadi.