Dampak Elpiji 3 Kg Terhadap Tradisi Lokal dan Pertanian, Perspektif Dedi Mulyadi
Mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, mengungkapkan pandangannya mengenai dampak negatif dari masuknya elpiji 3 kg ke desa-desa. Pernyataan ini disampaikan di hadapan para kepala daerah Jawa Barat dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia Jabar.
Menurut Dedi Mulyadi, yang saat itu menjabat sebagai Bupati Purwakarta, kebijakan yang terkesan meringankan beban masyarakat justru berpotensi menggerus tradisi dan kearifan lokal. Ia menyoroti bagaimana penggunaan elpiji menggantikan kayu bakar sebagai bahan bakar utama untuk memasak, sehingga menghilangkan aktivitas sosial dan ekonomi yang melekat pada kegiatan mencari kayu bakar.
"Saya menolak LPG 3 kg masuk desa. Kenapa? Karena anak-anak desa akan kehilangan aktivitas yang biasa mereka lakukan," ujar Dedi dalam Pasamoan Agung yang digelar Bank Indonesia Jabar, Rabu (11/6/2025).
Hilangnya Tradisi dan Ekosistem
Dulu, anak-anak desa terbiasa mencari kayu bakar di hutan atau kebun. Kegiatan ini bukan hanya sekadar mencari bahan bakar, tetapi juga menjadi sarana untuk berinteraksi dengan alam. Mereka bisa memetik buah-buahan, mengamati tumbuhan dan hewan, serta belajar tentang ekosistem. Selain itu, anak-anak juga sering mencari belut di sawah atau sungai sebagai sumber protein tambahan bagi keluarga. Namun, dengan beralihnya masyarakat ke elpiji, tradisi mencari kayu bakar dan berburu belut perlahan menghilang.
Dampak pada Sektor Pertanian
Selain menggerus tradisi lokal, Dedi Mulyadi juga menyoroti permasalahan di sektor pertanian. Ia mengungkapkan bahwa biaya produksi padi semakin tinggi, mulai dari sewa traktor yang mahal hingga upah buruh tani yang terus meningkat. Selain itu, penggunaan pupuk kimia juga semakin tinggi, namun kualitas tanah justru semakin menurun.
Berikut adalah beberapa permasalahan yang dihadapi petani:
- Biaya produksi tinggi: Sewa traktor, upah buruh tani (nyangkul dan ngarambet) terus meningkat.
- Pupuk: Mudah didapat, tetapi dosisnya semakin tinggi karena unsur hara tanah menurun.
- Hama: Keong yang dulu dianggap berkah, kini menjadi hama pembawa musibah. Belut juga hampir hilang karena penggunaan pestisida.
Perubahan Sistem Pertanian
Dulu, petani memelihara hewan ternak seperti kambing, domba, atau kerbau. Kotoran hewan ternak digunakan sebagai pupuk organik yang menyuburkan tanah. Belut juga menjadi sumber protein bagi masyarakat. Namun, kini sistem pertanian telah berubah. Petani lebih fokus pada penjualan gabah, namun harga gabah yang rendah seringkali tidak sebanding dengan biaya produksi yang tinggi.
Menurut Dedi Mulyadi, perubahan ini berdampak pada kesejahteraan petani dan keberlanjutan lingkungan. Ia menyerukan perlunya solusi yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan di sektor pertanian dan melestarikan tradisi lokal.