Eks Pejabat Kominfo Akui Jalin Kesepakatan dengan Terdakwa Judi Online Terkait Pemblokiran Situs

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi saksi bisu terungkapnya dugaan praktik gelap di balik layar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Denden Imadudin Soleh, mantan pejabat Kominfo, mengakui adanya kesepakatan dengan Alwin Jabarti Kiemas, seorang terdakwa kasus judi online, terkait perlindungan situs-situs ilegal tersebut dari pemblokiran.

Dalam kesaksiannya sebagai saksi mahkota, Denden menjelaskan bahwa perannya sebagai Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal pada periode Oktober hingga Desember 2023 seharusnya bertugas memberantas konten negatif, termasuk perjudian. Namun, kenyataannya, ia justru menjalin koordinasi dengan Alwin untuk memastikan situs-situs judi online tertentu tetap bisa beroperasi.

"Koordinasi" yang dimaksud, menurut Denden, meliputi dua hal utama: mencegah pemblokiran situs dan memberikan informasi awal jika situs tersebut akan diblokir. Imbalan atas jasa tersebut tidak gratis. Denden bahkan menaikkan tarif yang semula Rp 2 juta per situs menjadi Rp 4 juta. Saat itu, Alwin disebut ingin "mengamankan" sekitar 100 situs judi online.

Kasus ini mengungkap adanya empat klaster yang diduga terlibat dalam praktik perlindungan situs judi online:

  • Klaster Koordinator: Terdiri dari Adhi Kismanto, Zulkarnaen Apriliantony alias Tony, Muhrijan alias Agus, dan Alwin Jabarti Kiemas.
  • Klaster Eks Pegawai Kominfo: Melibatkan Denden Imadudin Soleh, Fakhri Dzulfiqar, Riko Rasota Rahmada, Syamsul Arifin, Yudha Rahman Setiadi, Yoga Priyanka Sihombing, Reyga Radika, Muhammad Abindra Putra Tayip N, dan Radyka Prima Wicaksana.
  • Klaster Agen Situs Judi Online: Mencakup Muchlis, Deny Maryono, Harry Efendy, Helmi Fernando, Bernard alias Otoy, Budianto Salim, Bennihardi, Ferry alias William alias Acai.
  • Klaster TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang): Terdiri dari Darmawati dan Adriana Angela Brigita, yang diduga menampung hasil dari praktik perlindungan situs judi online.

Para terdakwa dari klaster koordinator dijerat dengan Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta Pasal 303 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Persidangan ini membuka tabir gelap dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang di tubuh Kominfo, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas konten ilegal di internet. Kasus ini menjadi tamparan keras bagi upaya pemerintah dalam memberantas judi online.