Skandal Perlindungan Judi Online Terungkap: Mantan Pejabat Kominfo Jadi Saksi Mahkota
Mantan Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal Ungkap Praktik Perlindungan Situs Judi Online
Jakarta - Sebuah pengakuan mengejutkan datang dari Denden Imadudin Soleh, mantan Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), kini bernama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Denden mengungkapkan secara detail bagaimana ia dan timnya menjalankan praktik perlindungan terhadap situs-situs judi online (judol) agar terhindar dari pemblokiran oleh kementeriannya sendiri.
Denden dihadirkan sebagai saksi mahkota dalam perkara yang melibatkan sejumlah terdakwa, termasuk Alwin Jabarti Kiemas, Zulkarnaen Apriliantony alias Tony, Muhrijan alias Agus, dan Adhi Kismanto. Kasus ini mengungkap jaringan yang kompleks dalam melindungi aktivitas ilegal di dunia maya. Pengakuan Denden membuka tabir gelap praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang di lingkungan kementerian yang seharusnya memberantas perjudian online.
Mekanisme Perlindungan Situs Judi Online
Dalam kesaksiannya, Denden menjelaskan bahwa situs-situs judi online yang masuk dalam daftar patroli atau laporan masyarakat seharusnya diblokir. Namun, kenyataannya, situs-situs tersebut justru dikecualikan dari pemblokiran. Pengecualian ini hanya akan dibatalkan jika ada instruksi langsung dari pimpinan atau lembaga lain yang berwenang. “Terkecuali jika ada atensi dari pimpinan atau lembaga lain, maka kami akan pastikan, 'ini tidak bisa kami jaga. Ini pasti akan diblokir', kita informasikan,” ujarnya di persidangan.
Denden mengaku menjalin koordinasi dengan Alwin Jabarti Kiemas, Direktur Utama PT Djelas Tandatangan Bersama, untuk memastikan situs-situs judi online tetap aman dari pemblokiran. Sebagai imbalan, Denden menerima tarif sebesar Rp 4 juta per situs. Praktik ini dijalankan dengan melibatkan sejumlah bawahannya, yakni Fakhri Dzulfiqar, Yudha Rahman Setiadi, dan Yoga Priyanka Sihombing.
Proses Pembersihan dan Pengajuan Pemblokiran Palsu
Situs-situs yang akan dilindungi oleh Denden dan timnya terlebih dahulu "dibersihkan" sebelum diajukan ke Tim Infrastruktur Digital Kementerian Kominfo untuk diblokir. Proses "pembersihan" ini bertujuan untuk menghilangkan jejak atau indikasi yang dapat memicu pemblokiran yang sebenarnya. Setelah situs dianggap aman, barulah diajukan ke Riko, anggota Tim Infrastruktur Digital, seolah-olah situs tersebut layak untuk diblokir. “Iya, jadi apa yang disampaikan ke saya adalah sesudah dibersihkan semua. (Setelah itu diserahkan) kepada saudara Riko (Tim Infrastruktur Digital) untuk diblokir,” kata Denden.
Praktik perlindungan situs judi online ini berlangsung sejak September 2023 hingga Januari 2024, saat Denden masih menjabat sebagai Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal. Setelah dipindahtugaskan menjadi Ketua Tim Penyidikan dan Ahli Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Denden sempat menghentikan aktivitasnya. Namun, ia kembali terlibat setelah bertemu dengan terdakwa Muhrijan alias Agus.
Pengelompokan Terdakwa dalam Empat Klaster
Penyidik mengelompokkan para terdakwa dalam kasus ini ke dalam empat klaster, berdasarkan peran dan keterlibatan mereka dalam melindungi situs judi online:
- Klaster Koordinator: Terdiri dari Adhi Kismanto, Zulkarnaen Apriliantony alias Tony, Muhrijan alias Agus, dan Alwin Jabarti Kiemas.
- Klaster Pegawai Kominfo: Berisi mantan pegawai Kementerian Kominfo, yakni Denden Imadudin Soleh, Fakhri Dzulfiqar, Riko Rasota Rahmada, Syamsul Arifin, Yudha Rahman Setiadi, Yoga Priyanka Sihombing, Reyga Radika, Muhammad Abindra Putra Tayip N, dan Radyka Prima Wicaksana.
- Klaster Agen Situs Judol: Terdiri dari Muchlis, Deny Maryono, Harry Efendy, Helmi Fernando, Bernard alias Otoy, Budianto Salim, Bennihardi, dan Ferry alias William alias Acai.
- Klaster Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU): Yakni para penampung hasil kejahatan, yang sejauh ini diketahui adalah Darmawati dan Adriana Angela Brigita.
Para terdakwa dalam klaster koordinator dijerat dengan Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (3) UU RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kemudian, Pasal 303 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena mengungkap betapa rentannya sistem pengawasan internet di Indonesia terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pengakuan Denden Imadudin Soleh sebagai saksi mahkota diharapkan dapat membuka jalan bagi pengungkapan kasus-kasus serupa dan pembenahan sistem pengawasan internet di Indonesia.