Usulan Penyesuaian Garis Kemiskinan Nasional: Standar BPS Dianggap Tidak Lagi Cukup Representatif

Urgensi Peninjauan Kembali Standar Kemiskinan Nasional

Debat mengenai standar garis kemiskinan di Indonesia kembali mencuat. Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory Yusuf, menyampaikan pandangannya bahwa standar yang saat ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) perlu dievaluasi secara komprehensif. Menurutnya, garis kemiskinan yang ditetapkan BPS sebesar Rp 595.000 per kapita per bulan, tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

Argumentasi Arief didasarkan pada posisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income country). Ia menyoroti bahwa standar kemiskinan yang ada hanya sedikit di atas garis kemiskinan ekstrem internasional. Kondisi ini, menurutnya, menciptakan ilusi kemajuan dan berpotensi mengarahkan kebijakan yang kurang tepat sasaran. Ia mengusulkan standar baru yang lebih sesuai, yakni sekitar Rp 765.000 per kapita per bulan, mengacu pada standar negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income country) yang ditetapkan Bank Dunia.

Perbandingan Internasional dan Dampak Kebijakan

Arief mencontohkan negara-negara seperti Malaysia dan Vietnam yang telah melakukan revisi terhadap metodologi penghitungan garis kemiskinan mereka. Ia menekankan bahwa Indonesia terakhir kali mengubah metodologi ini pada tahun 1998, sementara biaya hidup telah mengalami perubahan signifikan selama lebih dari dua dekade.

Perubahan standar garis kemiskinan, meskipun berpotensi meningkatkan angka kemiskinan secara signifikan (diperkirakan hingga 20 persen), dianggap perlu untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat mengenai kondisi riil masyarakat. Hal ini akan membuka ruang bagi perumusan kebijakan yang lebih efektif dan tepat sasaran.

Kritik dan Tanggapan

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, juga mengkritik indikator pengukuran garis kemiskinan BPS yang dinilai tidak mengalami perubahan sejak tahun 1976. Ia menekankan pentingnya penyesuaian indikator berdasarkan paritas daya beli (PPP) yang mengikuti perubahan konsumsi dan biaya hidup masyarakat, seperti yang dilakukan oleh lembaga internasional seperti Bank Dunia.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menambahkan bahwa standar kemiskinan yang terlalu rendah dapat membuat pemerintah merasa puas diri dan kurang optimal dalam memberantas kemiskinan. Ia menekankan bahwa dengan standar yang lebih realistis, upaya pemberantasan kemiskinan dapat dilakukan secara lebih komprehensif.

Menanggapi isu ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah masih mengacu pada data kemiskinan dari BPS dalam menentukan arah kebijakan. Ia juga menyebutkan bahwa belum ada rencana untuk mengubah metodologi penghitungan tingkat kemiskinan dari BPS.

Poin-poin penting yang diangkat dalam diskusi ini meliputi:

  • Relevansi standar garis kemiskinan BPS saat ini.
  • Perbandingan dengan standar internasional dan negara-negara tetangga.
  • Potensi dampak perubahan standar terhadap angka kemiskinan.
  • Implikasi kebijakan dari penggunaan standar yang berbeda.
  • Kebutuhan untuk evaluasi dan revisi metodologi penghitungan kemiskinan.

Perdebatan mengenai standar garis kemiskinan ini menggarisbawahi pentingnya pengukuran yang akurat dan representatif dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Standar yang tepat akan memungkinkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang lebih efektif dan memastikan bahwa bantuan dan program-program sosial tepat sasaran.