Kegagalan Sistemik dan Teori Broken Windows: Analisis Kasus Pencabulan Eks Kapolres Ngada

Kegagalan Sistemik dan Teori Broken Windows: Analisis Kasus Pencabulan Eks Kapolres Ngada

Kasus pencabulan terhadap tiga anak di bawah umur yang dilakukan oleh mantan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, merupakan tragedi yang mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Lebih jauh lagi, kasus ini bukan hanya sekadar kejahatan individual, melainkan juga cerminan nyata dari kegagalan sistemik dalam tubuh kepolisian, sebagaimana diungkapkan oleh Mikhael Feka, pengamat Hukum dan Kepolisian Universitas Widya Mandira Kupang. Perilaku menyimpang eks Kapolres Ngada, yang meliputi penyalahgunaan narkotika dan penyebaran video pencabulan ke situs luar negeri, menunjukkan betapa krusialnya pengawasan internal dan reformasi menyeluruh dalam tubuh Polri.

Feka menekankan pentingnya memahami kasus ini melalui lensa teori "Broken Windows." Teori ini menyatakan bahwa toleransi terhadap pelanggaran kecil dapat memicu terjadinya pelanggaran yang lebih besar dan serius. Ketidaktegasan dalam menangani pelanggaran-pelanggaran kecil di lingkungan kepolisian, telah menciptakan budaya permisif yang membiarkan tindakan kriminal seperti yang dilakukan oleh eks Kapolres Ngada berkembang. Kegagalan pengawasan internal, yang seharusnya dijalankan oleh Propam dan Itjen, turut berperan dalam peristiwa ini. Sistem Early Warning System (EWS) yang lemah dan minimnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan eksternal juga menjadi faktor penyebab. Lebih lanjut, Feka menyoroti proses rekrutmen anggota Polri yang masih kurang fokus pada aspek integritas karakter, dan lebih menekankan pada aspek fisik dan administratif. Hal ini membuat potensi penyimpangan perilaku tidak terdeteksi sedini mungkin. Kurangnya asesmen psikologis yang komprehensif mengakibatkan terpilihnya individu yang berpotensi melakukan tindakan kriminal seperti yang terjadi dalam kasus ini.

Untuk mengatasi masalah ini, Feka merekomendasikan beberapa langkah reformasi yang mendesak:

  • Penguatan Seleksi dan Rekrutmen: Proses rekrutmen anggota Polri harus dibenahi secara mendasar dengan penekanan pada integritas karakter. Hal ini meliputi tes kepribadian yang lebih mendalam, asesmen risiko penyimpangan perilaku seksual, dan pemetaan integritas sejak awal, khususnya bagi calon yang akan menduduki posisi strategis. Aspek prediktif terhadap potensi penyimpangan harus terakomodasi secara komprehensif.
  • Digitalisasi Pengawasan dan Peringatan Dini: Penerapan sistem digital untuk mendeteksi pola perilaku menyimpang, pelaporan gaya hidup tidak wajar, dan penggunaan narkotika harus diintegrasikan dalam sistem pengawasan nasional. Sistem ini harus mampu memberikan peringatan dini terhadap potensi penyimpangan sebelum berkembang menjadi kejahatan yang serius.
  • Evaluasi Berkala dan Pendidikan Etika: Asesmen integritas dan etika secara periodik perlu dilakukan untuk memantau perilaku anggota Polri. Selain itu, pelatihan anti-penyimpangan berbasis nilai-nilai hak asasi manusia dan perlindungan anak harus menjadi bagian integral dari program pendidikan dan pelatihan kepolisian.

Feka juga menyarankan agar pelaku dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang ancaman hukumannya mencapai 15 tahun penjara. Kasus ini menjadi panggilan serius bagi Polri untuk melakukan reformasi menyeluruh dan memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian hanya dapat dipulihkan melalui komitmen nyata terhadap penegakan hukum, transparansi, dan akuntabilitas.