Kontroversi Izin PT Gag Nikel: Potensi Hambatan Agenda Penertiban Tambang Presiden Prabowo?

Keputusan pemerintah untuk tidak mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Gag Nikel, salah satu perusahaan tambang yang beroperasi di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menuai sorotan tajam. Keputusan ini, yang berbeda dengan pencabutan IUP empat perusahaan lainnya, yaitu PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham, dikhawatirkan dapat menjadi preseden buruk dan menghambat upaya penertiban aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil lainnya.

Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengkritisi keputusan tersebut dan menyatakan bahwa hal itu dapat menjadi 'kerikil' bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, pemberian izin operasi PT Gag Nikel yang dinilai melanggar Undang-Undang, akan menyulitkan pemerintah dalam menertibkan 53 perusahaan tambang lainnya yang beroperasi di pulau-pulau kecil. Hal ini dikarenakan, perusahaan-perusahaan tersebut dapat menganggap tindakan pemerintah diskriminatif. Fahmy menjelaskan, awalnya publik menduga bahwa keempat perusahaan yang IUP-nya dicabut dilindungi oleh pihak tertentu. Bahkan, muncul spekulasi bahwa PT Gag Nikel, anak perusahaan BUMN PT Antam, akan menjadi target utama pencabutan izin karena sempat dihentikan sementara oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Namun, keputusan akhir menunjukkan hasil yang berbeda, di mana pemerintah mencabut IUP empat perusahaan lain dengan alasan pelanggaran Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan kaidah lingkungan hidup.

Alasan yang diberikan pemerintah terkait pengecualian PT Gag Nikel adalah karena perusahaan tersebut memiliki AMDAL dan memenuhi standar lingkungan yang dipersyaratkan. Selain itu, lokasi operasional PT Gag Nikel juga berada sekitar 40 kilometer di luar garis Geopark Raja Ampat. Akan tetapi, Fahmy berpendapat bahwa PT Gag Nikel tetap melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang tersebut mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau dengan luas kurang dari atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta ekosistemnya. Pulau Gag, dengan luas 6.000 hektare atau 60 kilometer persegi, jelas termasuk dalam kategori tersebut.

Fahmy mendesak pemerintah untuk meninjau ulang keputusan tersebut. Ia menekankan bahwa seharusnya tidak ada aktivitas pertambangan di wilayah Raja Ampat, yang telah ditetapkan sebagai destinasi wisata. Ia khawatir aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dapat menyebabkan kawasan tersebut tenggelam.

Menanggapi kontroversi ini, PT Gag Nikel menyatakan komitmennya untuk menjalankan operasional tambang sesuai dengan mandat pemerintah dan menerapkan prinsip keberlanjutan di wilayah timur Indonesia. Plt Presiden Direktur PT Gag Nikel, Arya Aditya, menegaskan bahwa perusahaan siap mematuhi seluruh regulasi pemerintah, memperketat standar lingkungan, dan mendukung upaya restorasi ekosistem laut. Ia juga menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk mencapai pertambangan berkelanjutan.

Arya menjelaskan bahwa sejak memulai produksi pada tahun 2018, PT Gag Nikel telah beroperasi berdasarkan AMDAL yang sah dan diawasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Perusahaan juga telah melakukan penanaman puluhan ribu bibit tanaman endemik di lahan bekas tambang seluas lebih dari 130 hektare, serta melakukan pemantauan berkala terhadap kualitas air dan keanekaragaman hayati di wilayah operasionalnya.

Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Keputusan pemerintah tidak mencabut IUP PT Gag Nikel menuai kritik.
  • Pengamat menilai hal ini dapat menghambat agenda penertiban tambang Presiden Prabowo.
  • PT Gag Nikel dinilai melanggar UU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
  • PT Gag Nikel menyatakan komitmennya terhadap pertambangan berkelanjutan.