Pemeriksaan Intensif Ahok dalam Skandal Pengadaan Lahan Rusun Cengkareng: Fakta Terungkap?
Polemik Pengadaan Lahan Rusun Cengkareng: Keterlibatan Ahok dalam Pusaran Korupsi
Kasus dugaan korupsi pengadaan lahan rumah susun (rusun) Cengkareng kembali mencuat ke permukaan, menyeret nama mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kehadiran Ahok di Bareskrim Polri untuk memberikan keterangan tambahan terkait kasus ini memicu kembali sorotan publik terhadap skandal yang telah berlangsung sejak tahun 2015.
Ahok menjelaskan bahwa kehadirannya kali ini merupakan kelanjutan dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang tertunda sejak Maret tahun lalu. Fokus pemeriksaan masih berkisar pada pengadaan lahan rusun Cengkareng yang diduga sarat dengan praktik korupsi.
Rangkaian Peristiwa yang Menjerat
Kasus ini bermula ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membeli lahan seluas 4,6 hektar di Cengkareng Barat pada tahun 2015. Transaksi senilai Rp 668 miliar ini kemudian memicu kecurigaan, terutama setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi penyimpangan. BPK menemukan bahwa pembayaran dilakukan kepada pihak yang bukan pemilik sah lahan tersebut.
Ironisnya, lahan tersebut kemudian diketahui merupakan aset milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI Jakarta. Dengan kata lain, Pemprov DKI membeli tanah milik sendiri. Praktik yang sangat mencurigakan.
Transaksi pembelian lahan melibatkan seorang wanita bernama Toeti Noezlar Soekarno dan notarisnya, Rudi Hartono Iskandar. Setelah transaksi selesai, Toeti dan Rudi diduga membagikan sejumlah dana hasil penjualan tanah kepada oknum pejabat Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan DKI Jakarta dengan nilai mencapai Rp 9,6 miliar.
Peran Ahok dalam Pengungkapan Kasus
Pada tahun 2016, Ahok yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, menemukan adanya kejanggalan dalam proses pembelian lahan yang dilakukan oleh Dinas Perumahan DKI Jakarta. Ahok menyadari bahwa tanah yang dibeli ternyata merupakan aset milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan, bukan milik warga seperti yang tertera dalam dokumen.
Ahok menduga adanya pemalsuan dokumen dalam proses jual beli lahan yang melibatkan Toeti Noeziar Soekarno. Dokumen kepemilikan tanah diubah menjadi tanah sewa, padahal aset tersebut milik Pemprov DKI Jakarta. Temuan ini kemudian dilaporkan Ahok ke Bareskrim Polri pada tahun 2016, yang kemudian menjadi awal mula penyelidikan kasus ini.
Penetapan Tersangka dan Pengembangan Kasus
Setelah melalui proses penyidikan yang panjang, polisi menetapkan dua tersangka dalam kasus ini, yaitu Sukmana (S) dan Rudi Hartono Iskandar (RHI). Brigjen (Pol) Ahmad Ramadhan, yang saat itu menjabat sebagai Karo Penmas Divisi Humas Polri, menjelaskan bahwa kasus ini berawal dari laporan polisi pada 27 Juni 2016 dengan dua tersangka utama.
Luas lahan yang menjadi objek perkara mencapai 4,69 hektar dan 1.137 meter persegi.
Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri menegaskan komitmennya untuk menuntaskan kasus ini. Irjen Cahyono Wibowo, Kepala Kortastipidkor, menyatakan bahwa penyidikan terus dikembangkan setelah ditemukan dua alat bukti baru yang memperkuat dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Bahkan penyidik terus melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli, serta pengamanan sejumlah aset terkait kasus ini.
Keterlibatan Mantan Ketua DPRD DKI
Penyidikan kasus ini juga menyeret nama mantan Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi, yang dipanggil untuk memberikan keterangan pada Februari 2025. Prasetyo mengaku tidak mengetahui banyak hal terkait kasus dugaan korupsi pengadaan lahan rusun Cengkareng, dengan alasan bahwa pengadaan tanah tersebut diatur dalam peraturan gubernur (pergub), bukan peraturan daerah (perda).