Alih Kelola Empat Pulau Aceh ke Sumatera Utara Picu Reaksi Keras Akademisi

Keputusan pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait pengalihan administrasi empat pulau yang sebelumnya masuk wilayah Kabupaten Aceh ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menuai kritik tajam dari kalangan akademisi. Prof. Ahmad Humam Hamid, Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh, menilai kebijakan ini sebagai bentuk pengabaian terhadap martabat dan sejarah panjang masyarakat Aceh.

Menurut Prof. Humam, persoalan ini bukan sekadar perubahan batas wilayah administratif. Lebih dari itu, keputusan ini menyentuh dimensi sejarah, politik, dan identitas yang sangat sensitif bagi masyarakat Aceh. "Pulau-pulau tersebut bukan sekadar titik koordinat di peta. Mereka adalah bagian dari narasi besar tentang konflik, perjuangan otonomi, dan perjanjian damai yang telah ditebus dengan pengorbanan besar," ujarnya.

Prof. Humam memberikan perbandingan dengan sejumlah kasus serupa di belahan dunia lain, seperti Catalonia di Spanyol, Skotlandia, dan Mindanao di Filipina. Di Catalonia, keinginan untuk memisahkan diri dari Spanyol bukan hanya didorong oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh sejarah marginalisasi dan aspirasi kultural yang terabaikan.

  • Masyarakat Catalonia merasa bahwa otonomi yang dijanjikan terus menerus dibatasi, dan keputusan-keputusan strategis diambil tanpa menghormati suara lokal. Kondisi ini memperkuat identitas kolektif dan memicu perlawanan politik.
  • Di Skotlandia, meskipun prosesnya berlangsung dalam kerangka demokrasi, keinginan untuk merdeka lahir dari perasaan bahwa masa depan Skotlandia terlalu lama ditentukan oleh London.
  • Sementara itu, di Mindanao, Filipina selatan, konflik berdarah berkepanjangan terjadi karena pemerintah gagal memahami struktur sosial dan religius masyarakat Muslim di sana. Pendekatan militer dan administratif dinilai hanya memperpanjang siklus kekerasan.

"Aceh memiliki banyak kesamaan dengan ketiga wilayah tersebut," tegas Prof. Humam. "Identitas historis yang kuat, pengalaman relasi yang tidak seimbang dengan pemerintah pusat, dan kesadaran kolektif untuk mempertahankan harga diri wilayah adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan."

Prof. Humam memperingatkan bahwa pendekatan legalistik semata dalam pengalihan wilayah ini hanya akan memperdalam kecurigaan dan luka lama. Jika tidak ditangani dengan kehati-hatian dan empati, keputusan administratif ini berpotensi menjadi pemicu bagi munculnya kembali narasi perlawanan yang lebih luas.

"Pelajaran terpenting bagi pemerintah pusat dari kasus pengalihan empat pulau ini adalah urgensi untuk mengedepankan pendekatan empati, bukan sekadar jalur legal-formal," tandasnya. Empati, menurutnya, berarti hadir untuk mendengar, memahami konteks sosial dan psikologis masyarakat, serta menghargai memori, identitas, dan martabat lokal. Dengan demikian, kepercayaan publik dapat dipulihkan dan risiko munculnya ketegangan lintas generasi dapat diminimalkan.

Keempat pulau yang dialihkan administrasinya ke Sumatera Utara adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Perubahan status administratif ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.