Kasus Asusila di Bekasi: Dilema Penanganan Anak Sebagai Pelaku dan Korban
Kasus memprihatinkan yang terjadi di Bekasi, di mana seorang anak berusia delapan tahun diduga melakukan tindakan asusila terhadap sembilan anak lainnya, telah memicu perdebatan tentang bagaimana seharusnya kita menangani kasus yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku sekaligus korban.
Insiden ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin seorang anak sekecil itu dapat melakukan tindakan yang sedemikian meresahkan? Apakah ini sekadar kenakalan anak-anak biasa, ataukah ini merupakan cerminan dari masalah sosial yang lebih dalam yang mengakar dalam masyarakat kita?
Dalam ranah kriminologi, seorang anak dipandang sebagai individu yang sedang dalam proses perkembangan, bukan hanya sebagai miniatur orang dewasa. Mereka sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan sekitar, menyerap, meniru, dan meneladani apa yang mereka lihat dan alami. Ketika seorang anak menunjukkan perilaku seksual yang menyimpang, kemungkinan besar ia pernah menjadi korban sebelumnya, baik itu korban pengabaian, kekerasan, atau terpapar konten yang tidak pantas.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) secara tegas menyatakan bahwa anak di bawah usia 12 tahun tidak dapat diproses secara pidana. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa anak pelaku perlu dibina dan direhabilitasi, bukan dihukum dan dikucilkan. Pendekatan keadilan restoratif, yang menekankan pada pemulihan dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, dan masyarakat, menjadi landasan utama dalam menangani kasus-kasus semacam ini.
Dalam kasus ini, anak berusia delapan tahun yang menjadi pelaku jelas belum memahami sepenuhnya konsekuensi dari perbuatannya. Oleh karena itu, proses pemulihan harus mencakup pendidikan ulang tentang nilai-nilai moral, pembinaan psikologis, dan reintegrasi sosial yang sehat. Hal ini bertujuan untuk membantu anak tersebut memahami kesalahannya dan kembali ke masyarakat sebagai individu yang lebih baik.
Namun, perhatian kita tidak boleh hanya terfokus pada pelaku. Sembilan anak yang menjadi korban dalam kasus ini juga membutuhkan dukungan dan perhatian khusus. Mereka mengalami trauma mendalam yang dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan psikologis mereka. Negara dan masyarakat memiliki kewajiban untuk menyediakan akses layanan pemulihan trauma dan pendampingan psikososial yang profesional, berkelanjutan, dan penuh empati kepada anak-anak ini.
Kasus ini juga menyoroti betapa rentannya anak-anak kita terhadap paparan konten negatif, terutama pornografi. Ketika seorang anak usia delapan tahun dapat meniru adegan seksual yang kompleks, hal ini menunjukkan bahwa pornografi telah merasuki ruang privat anak-anak, baik melalui perangkat seluler, televisi, atau bahkan percakapan di lingkungan sosial mereka.
Oleh karena itu, solusi hukum saja tidaklah cukup. Kita membutuhkan perubahan mendasar dalam nilai-nilai moral masyarakat kita. Kita perlu mengatasi dua akar masalah utama, yaitu pornografi dan bullying. Pornografi, yang sering dianggap sebagai hiburan oleh orang dewasa, dapat menjadi racun bagi perkembangan psikoseksual anak-anak. Sementara itu, bullying, baik verbal maupun fisik, menciptakan lingkaran kekerasan di mana korban hari ini dapat menjadi pelaku di kemudian hari.
Kita harus mengakui bahwa keluarga dan sekolah seringkali gagal dalam mendidik moral anak-anak. Banyak orang tua yang terlalu sibuk bekerja dan menyerahkan gadget sebagai "pengasuh digital" tanpa pengawasan. Sekolah pun seringkali lebih fokus pada nilai akademis daripada penanaman nilai-nilai karakter.
Kehadiran lembaga-lembaga negara seperti Balai Pemasyarakatan (Bapas), Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) menjadi sangat penting. Namun, intervensi lembaga negara tidak dapat berjalan sendiri tanpa dukungan dan peran aktif keluarga. Model pembinaan berbasis komunitas dan keluarga harus diperkuat agar anak-anak pelaku maupun korban dapat pulih dalam lingkungan yang aman dan mendidik.
Selain itu, kita perlu mendorong kebijakan publik yang melindungi anak-anak dari paparan digital yang merusak. Filterisasi konten, edukasi literasi digital sejak dini, dan pelibatan platform digital dalam tanggung jawab sosial adalah langkah-langkah nyata yang harus segera diambil.
Kita tidak bisa hanya menyalahkan pelaku atau orang tua. Kita perlu menata ulang sistem perlindungan anak secara kolektif. Sebagai negara yang menjunjung tinggi Pancasila, kita harus menjadikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagai prinsip utama dalam mendidik anak. Keadilan pidana anak yang bersifat restoratif adalah bagian dari upaya mewujudkan peradaban yang lebih manusiawi, bukan hanya reaktif terhadap kasus per kasus.
Tragedi ini seharusnya menjadi momen introspeksi kolektif. Ketika anak-anak menjadi pelaku kekerasan seksual, kita semua sebagai orang dewasa telah gagal menjalankan tanggung jawab moral kita. Mari kita bertanya, "Apa yang telah kita abaikan?" dan bersama-sama membangun kembali fondasi moral anak-anak kita agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan.