Usulan UU Kebebasan Beragama: Menimbang Hak Konstitusional dan Implementasinya di Indonesia
Usulan UU Kebebasan Beragama: Menimbang Hak Konstitusional dan Implementasinya di Indonesia
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, baru-baru ini mengusulkan rancangan Undang-Undang (RUU) Kebebasan Beragama. Usulan ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif bagi warga negara yang menganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Pigai berpendapat bahwa Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama yang ada saat ini dinilai kurang memadai, bahkan terkesan memaksa warga negara untuk memilih salah satu agama yang diakui negara. Pernyataan ini disampaikan Pigai di kantor Kementerian HAM, Jakarta, pada Selasa, 11 Maret 2025.
Pigai menjelaskan bahwa UU Kebebasan Beragama yang diusulkan akan berbeda secara substansial dengan UU Perlindungan Umat Beragama yang telah ada. RUU ini, menurutnya, bertujuan untuk menjamin hak konstitusional setiap warga negara untuk memilih dan menjalankan keyakinannya tanpa diskriminasi. Ia menekankan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi dan menjamin hak tersebut, tanpa memandang apakah kepercayaan tersebut termasuk dalam enam agama yang diakui atau tidak. Meskipun usulan ini masih berupa wacana, Pigai membuka ruang dialog yang luas bagi berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra, untuk berpartisipasi dalam proses pembahasan RUU tersebut. Hal ini, kata Pigai, merupakan bagian dari komitmen pemerintah terhadap prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Pandangan Pigai sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2017. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa negara wajib melindungi dan menjamin hak warga negara untuk memeluk kepercayaan di luar enam agama yang berkembang di Indonesia. Putusan ini mengacu pada Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yang mengakui hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap individu. Lebih lanjut, MK menekankan bahwa hak untuk menganut agama atau kepercayaan merupakan hak asasi manusia yang melekat, bukan pemberian negara. Hak ini termasuk dalam kelompok hak-hak sipil dan politik, yang dilindungi oleh konstitusi dan harus dijamin oleh negara.
Implementasi dari putusan MK ini hingga saat ini masih menjadi tantangan. Meskipun MK telah menegaskan hak konstitusional tersebut, praktik di lapangan masih menunjukkan adanya diskriminasi dan pembatasan terhadap mereka yang menganut kepercayaan di luar enam agama resmi. Oleh karena itu, usulan RUU Kebebasan Beragama diharapkan dapat menjadi instrumen hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak tersebut dan memastikan implementasi putusan MK secara konkrit. RUU ini diharapkan dapat mengakomodasi keragaman kepercayaan di Indonesia dan sekaligus memperkuat jaminan perlindungan hukum bagi semua warga negara, tanpa memandang keyakinan yang dianut.
Namun, pembuatan RUU ini juga akan menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah bagaimana merumuskan definisi “kebebasan beragama” yang inklusif dan tidak menimbulkan interpretasi yang multitafsir. Selain itu, perlu diperhatikan juga bagaimana memastikan bahwa UU tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, proses pembahasan RUU ini membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai stakeholder, termasuk para ahli hukum, tokoh agama, dan perwakilan masyarakat, agar dapat menghasilkan produk hukum yang komprehensif, adil, dan dapat diterima oleh semua pihak.
Secara keseluruhan, usulan RUU Kebebasan Beragama merupakan langkah penting dalam upaya melindungi hak asasi manusia di Indonesia. Namun, proses pembuatan dan implementasinya membutuhkan kehati-hatian dan perencanaan yang matang agar tujuan mulia dari RUU ini dapat tercapai secara efektif dan berkeadilan.