Implementasi Co-Payment Asuransi Kesehatan: Upaya Edukasi atau Beban Baru Bagi Nasabah?
Implementasi Co-Payment Asuransi Kesehatan: Upaya Edukasi atau Beban Baru Bagi Nasabah?
Kebijakan baru mengenai co-payment dalam produk asuransi kesehatan menuai sorotan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan pemegang polis untuk menanggung setidaknya 10% dari total klaim yang diajukan, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin memberikan tanggapannya terkait kebijakan ini.
Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan akan mempelajari lebih lanjut mengenai aturan baru yang dikeluarkan oleh OJK. Menurutnya, konsep co-payment dalam asuransi sebenarnya bukan hal baru. Pengalamannya di industri asuransi menunjukkan bahwa pembagian risiko semacam ini dapat memberikan dampak positif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan.
"Saya rasa ini langkah yang baik untuk mendorong para pemegang polis asuransi swasta agar lebih proaktif dalam menjaga kesehatan. Idealnya, kita semua berusaha untuk tidak sakit," ujar Budi Gunadi saat menghadiri acara International Conference on Infrastructure (ICI) di Jakarta.
Analogi yang diberikan oleh Menkes adalah asuransi kendaraan. Pemilik kendaraan biasanya harus membayar sejumlah biaya tertentu jika terjadi klaim akibat kecelakaan. Hal ini mendorong pengemudi untuk lebih berhati-hati di jalan.
"Penerapan co-payment ini mirip dengan asuransi kendaraan. Jika terjadi sesuatu, kita tetap harus mengeluarkan sejumlah dana. Hal ini mendorong masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam berkendara, karena mereka tahu akan ada biaya yang harus ditanggung jika terjadi masalah," tambahnya.
Aturan mengenai co-payment tertuang dalam Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa setiap pemegang polis wajib membayar minimal 10% dari total klaim saat menggunakan layanan kesehatan.
"Produk asuransi kesehatan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh pemegang polis, tertanggung atau peserta paling sedikit sebesar 10% dari total pengajuan klaim," bunyi SE tersebut.
OJK juga menetapkan batasan maksimum biaya yang harus ditanggung peserta, yaitu Rp 300 ribu per klaim untuk rawat jalan dan Rp 3 juta per klaim untuk rawat inap. Namun, perusahaan asuransi memiliki fleksibilitas untuk menetapkan nilai yang lebih tinggi jika disepakati bersama dengan pemegang polis.
"Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Syariah dapat menerapkan batas maksimum yang lebih tinggi sepanjang disepakati antara Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Syariah dengan pemegang polis, tertanggung atau peserta serta telah dinyatakan dalam polis asuransi," demikian pernyataan OJK.
Kebijakan co-payment ini akan berlaku untuk produk asuransi kesehatan dengan prinsip ganti rugi (indemnity) dan produk asuransi kesehatan dengan skema pelayanan kesehatan yang terkelola (managed care). Pengecualian diberikan untuk produk asuransi mikro.
"Pembagian risiko (co-payment) bagi skema pelayanan kesehatan yang terkelola (managed care) mulai diberlakukan untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan," jelas OJK.
Dengan adanya aturan ini, implikasi bagi nasabah asuransi kesehatan perlu dicermati. Di satu sisi, co-payment dapat mendorong kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan dan penggunaan layanan kesehatan yang lebih bijak. Namun, di sisi lain, hal ini juga berpotensi menjadi beban tambahan bagi nasabah, terutama bagi mereka yang sering menggunakan layanan kesehatan atau memiliki penyakit kronis.
Perlu ada sosialisasi yang jelas dan transparan dari pihak OJK dan perusahaan asuransi mengenai detail aturan co-payment ini, termasuk batasan biaya maksimum yang harus ditanggung, jenis layanan kesehatan yang dikenakan co-payment, dan mekanisme pengajuan klaim. Dengan demikian, nasabah dapat memahami hak dan kewajiban mereka serta mempersiapkan diri dengan baik menghadapi perubahan ini.