Kedaulatan Rakyat di Era Digital: Ancaman Manipulasi Algoritma dan Urgensi Reformasi Hukum
Ancaman Kedaulatan Rakyat di Era Digital
Peringatan Hari Media Sosial setiap tanggal 10 Juni menjadi momentum krusial untuk merefleksikan peran platform digital dalam lanskap demokrasi Indonesia. Meskipun idealnya media sosial berfungsi sebagai wadah untuk memperkuat suara rakyat, realitasnya seringkali diwarnai dengan hiruk pikuk digital, di mana narasi otomatis yang didukung oleh buzzer dan kecerdasan buatan (AI) membajak proses demokrasi elektoral.
Fenomena ini telah mengakar sejak Pilkada DKI Jakarta 2012 hingga Pemilu 2024 dan Pilkada selanjutnya, dengan buzzer yang semakin merajalela dalam arsitektur demokrasi, terutama dalam kampanye politik. Perkembangan pesat ini sayangnya membawa serta dampak negatif, seperti penyebaran hoaks, kampanye negatif, dan narasi yang mengandung ujaran kebencian.
Investigasi mendalam mengungkap praktik "peternakan ponsel", Social Media Marketing Panel (SMM Panel), dan penggunaan deepfake yang menelan biaya hingga miliaran rupiah. Intervensi ini tidak hanya terjadi di sektor ekonomi, tetapi juga dalam penyelenggaraan elektoral. AI semakin memperluas skala intervensi ini, menciptakan opini digital palsu yang menggantikan aspirasi publik yang otentik.
Erosi Kedaulatan Rakyat Akibat Manipulasi Digital
Dalam sistem demokrasi Indonesia, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945), dan Pasal 22E mensyaratkan Pemilu dan Pilkada yang berlangsung secara "luber dan jurdil" (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil). Namun, jika ruang publik digital dibanjiri narasi buatan tanpa kontrol dan penyaringan yang memadai, rakyat tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih karena terdistorsi oleh narasi yang diproduksi oleh modal dan algoritma. Kedaulatan rakyat terancam beralih menjadi kedaulatan algoritma.
Konsep kedaulatan rakyat, yang diadopsi pasca-Revolusi Prancis, menekankan bahwa sumber kekuasaan tertinggi berasal dari rakyat, bukan dari penguasa absolut. Pasca-amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat, yang diartikulasikan melalui mekanisme demokrasi representatif. Namun, dengan maraknya narasi digital yang diproduksi secara artifisial, kebebasan ini mulai terkikis.
Buzzer dan AI menciptakan ilusi demokrasi dengan opini palsu yang menggantikan keragaman suara rakyat. Narasi yang seharusnya lahir dari kesadaran kolektif justru direkayasa secara algoritmik untuk memanipulasi emosi. Pilihan masyarakat berpotensi lahir dari tekanan algoritma, bukan dari pertimbangan rasional. UUD 1945 menjamin akses informasi yang benar (Pasal 28F) dan persamaan di depan hukum (Pasal 27 ayat 1). Namun, realitasnya menunjukkan disparitas hukum, di mana UU ITE lebih sering menjerat kritikus, sementara buzzer yang pro-kekuasaan relatif bebas. Ketidakadilan ini menandakan keretakan fondasi kedaulatan rakyat di era digital.
Urgensi Reformasi Hukum dan Penguatan Institusi
Dalam konteks demokrasi, keadilan elektoral mencakup aspek prosedural, substantif, dan institusional. Tantangan keadilan elektoral yang sebelumnya meliputi politik uang, manipulasi, dan ketidakindependenan penyelenggara, kini semakin kompleks dengan kehadiran buzzer dan AI, yang berpotensi menjauhkan pencapaian keadilan elektoral dalam setiap Pemilu dan Pilkada.
Menghadapi gelombang disinformasi dan manipulasi algoritmik, Indonesia perlu mengambil langkah progresif. Reformasi hukum dan kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan perlindungan terhadap proses demokrasi menjadi sangat mendesak. Regulasi yang ada saat ini, seperti Undang-Undang ITE, UU Pemilu, dan UU Pilkada, belum cukup menjangkau kompleksitas penggunaan AI dan buzzer dalam kontestasi politik. Langkah-langkah reformasi hukum yang perlu diambil meliputi:
- Pembentukan kerangka hukum yang mengatur penggunaan teknologi digital dalam penyelenggaraan pemilu: Kerangka hukum ini harus mencakup transparansi algoritma yang digunakan oleh platform digital, kewajiban pelabelan konten politik berbayar, serta batasan penggunaan kecerdasan buatan dalam kampanye politik. Pemilih harus ditempatkan sebagai subjek utama yang berhak atas informasi yang jujur dan adil.
- Penguatan kapasitas lembaga penyelenggara pemilu: KPU dan Bawaslu perlu diperkuat agar mampu mengawasi ekosistem digital secara aktif. Pengawasan siber harus menjadi bagian integral dari sistem integritas Pemilu, bukan sekadar pelengkap. Sinergi lintas lembaga, termasuk dengan Kominfo, Dewan Pers, Kepolisian, Kejaksaan, serta organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang pemantauan pemilu, sangat diperlukan.
- Peningkatan partisipasi publik melalui literasi digital: Pemerintah, akademisi, jurnalis, dan komunitas harus membangun ekosistem informasi yang sehat. Demokrasi tidak akan bertahan jika publik dibiarkan terombang-ambing dalam banjir konten tanpa orientasi etik dan politik yang jelas.
Kedaulatan rakyat di era digital hanya dapat ditegakkan jika negara hadir sebagai penjaga ruang publik yang adil. Pemilu dan Pilkada bukan hanya tentang siapa yang menang, tetapi bagaimana rakyat dapat menentukan masa depan tanpa dibayangi ilusi dan rekayasa. Masa depan demokrasi bergantung pada kemampuan kita menjaga agar narasi yang beredar bukan sekadar resonansi algoritma. Jika suara rakyat digantikan oleh akun otomatis, demokrasi kita akan kehilangan esensinya. Oleh karena itu, 10 Juni bukan hanya sekadar perayaan digital, tetapi pengingat bahwa demokrasi digital harus diimbangi dengan hukum yang adaptif, masyarakat yang melek informasi, dan institusi yang berani bertindak. Tanpa langkah-langkah tersebut, kita akan hidup dalam gema algoritma, bukan dalam narasi hati nurani rakyat.