DPR RI Soroti Rencana Pengecilan Ukuran Rumah Subsidi: Potensi Munculnya Kawasan Kumuh Mengkhawatirkan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Komisi V, menyampaikan kritiknya terhadap usulan pemerintah terkait pengecilan ukuran rumah subsidi. Usulan yang tertuang dalam rancangan Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) tersebut, dinilai berpotensi memicu munculnya kawasan permukiman kumuh, alih-alih menyediakan hunian yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak negatif yang mungkin timbul akibat kebijakan ini. Ia menjelaskan bahwa pengurangan ukuran rumah subsidi, tanpa kajian yang mendalam dan pengawasan yang ketat, dapat menimbulkan permasalahan sosial yang baru. Pemerintah, menurutnya, perlu mempertimbangkan dengan matang aspek kelayakan hunian, bukan hanya sekadar mengejar kuantitas pembangunan.

"Rumah subsidi itu harus layak, jangan sampai malah jadi pemicu tumbuhnya permukiman kumuh," tegas Irine dalam keterangan persnya. Ia mengakui bahwa upaya pemerintah untuk menaikkan batas penghasilan penerima rumah subsidi perlu diapresiasi, karena dapat memperluas jangkauan program. Namun, ia mengingatkan agar perluasan akses tersebut tidak mengorbankan kualitas hunian yang disediakan.

Rumah subsidi, lanjut Irine, bukan hanya sekadar bangunan fisik, tetapi juga harus memenuhi standar kelayakan huni, didukung oleh tata ruang yang baik, serta kualitas bangunan yang memadai. Selain itu, ketersediaan infrastruktur pendukung seperti air bersih, sanitasi yang layak, dan akses transportasi yang mudah juga menjadi faktor penting yang tidak boleh diabaikan. Ia menekankan bahwa rumah subsidi seharusnya menjadi tempat tinggal yang nyaman dan layak, bukan sekadar tempat berlindung yang sempit dan tidak sehat.

Rincian Usulan Pengecilan Rumah Subsidi:

  • Luas bangunan diusulkan menjadi 18-36 meter persegi.
  • Luas tanah diusulkan menjadi 25-200 meter persegi.

Ukuran ini lebih kecil dari ketentuan sebelumnya, yang menetapkan luas bangunan 21-36 meter persegi dan luas tanah minimum 60 meter persegi. Irine khawatir bahwa ukuran rumah yang terlalu kecil akan berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental penghuninya, serta memicu permasalahan sosial di lingkungan tempat tinggal.

"Rumah subsidi bukan sekadar soal luasan, tapi juga soal kenyamanan dan kelayakan tinggal. Kalau rumah dibuat terlalu kecil, tidak hanya ruang hidup yang terbatas, tapi juga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, sosial, dan psikologis bagi penghuninya," jelasnya.

Irine mendesak pemerintah untuk memprioritaskan taraf kelayakan hidup warga dalam setiap kebijakan perumahan. Ia meminta agar pemerintah tidak hanya melihat rumah subsidi sebagai sekadar bangunan, melainkan sebagai tempat tinggal yang menentukan kualitas hidup jangka panjang bagi penghuninya. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk melakukan kajian yang lebih mendalam sebelum memutuskan untuk menerapkan kebijakan pengecilan ukuran rumah subsidi.

"Jika kebijakan ini diterapkan tanpa kajian mendalam dan pengawasan ketat, kita khawatir akan menimbulkan risiko kawasan permukiman padat dan kumuh," ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya pendekatan yang komprehensif dan berkeadilan dalam memaksimalkan program rumah subsidi. Pemerintah, menurutnya, tidak boleh hanya mengejar target pembangunan semata, tetapi juga harus memperhatikan kualitas hunian dan dampak sosial yang mungkin timbul.

"Pembangunan infrastruktur dan perumahan rakyat adalah investasi jangka panjang yang harus dikelola dengan matang. Jangan sampai semangat memperbanyak rumah justru menimbulkan masalah baru yang lebih besar," pungkasnya.

Sebelumnya, usulan pengecilan rumah subsidi ini dikabarkan tidak mendapatkan persetujuan dari Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perumahan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan di internal pemerintah terkait kebijakan ini.