Sengketa Pulau Aceh-Sumut, DPR Minta Pemerintah Kedepankan Musyawarah
Polemik kepemilikan empat pulau yang terletak di antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali mencuat. Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menekankan pentingnya mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan sengketa wilayah ini. Ia menyarankan agar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengambil pendekatan yang lebih harmonis dan elegan, alih-alih hanya berpegang pada aspek hukum formal.
Khozin menjelaskan bahwa meskipun Kemendagri telah mengeluarkan keputusan yang menyatakan keempat pulau tersebut berada di bawah administrasi Sumatera Utara, keputusan ini saja tidak cukup untuk meredam konflik yang telah berlangsung lama. Menurutnya, pemerintah pusat perlu mempertimbangkan nilai-nilai dan kearifan lokal yang hidup dan berkembang di masyarakat Aceh.
"Saya mendapat informasi mengenai adanya tradisi larangan melaut pada hari Jumat di sekitar pulau-pulau tersebut. Aturan ini bahkan tertuang dalam qanun Aceh. Ini adalah contoh nyata bagaimana aspek sosial dan budaya masyarakat setempat terkait erat dengan wilayah sengketa ini," ujar Khozin.
Sengketa ini melibatkan empat pulau yang terletak di dekat pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah, yaitu Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan. Persoalan ini bermula ketika Kemendagri mengeluarkan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.
Keputusan ini sontak memicu reaksi dari kedua belah pihak. Pemerintah Provinsi Aceh mengklaim memiliki jejak historis yang kuat di pulau-pulau tersebut, sementara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara berpegang pada hasil survei yang dilakukan oleh Kemendagri. Konflik perebutan wilayah ini telah berlangsung selama puluhan tahun dan belum menemukan titik terang. Oleh karena itu, pendekatan musyawarah dan pertimbangan kearifan lokal menjadi kunci untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan.