Tantangan Pengelolaan Limbah Baterai Kendaraan Listrik di Indonesia: Antara Pertumbuhan EV dan Infrastruktur Daur Ulang

Tantangan Pengelolaan Limbah Baterai Kendaraan Listrik di Indonesia: Antara Pertumbuhan EV dan Infrastruktur Daur Ulang

Pertumbuhan pesat kendaraan listrik (EV) di Indonesia membawa tantangan baru dalam pengelolaan lingkungan, khususnya terkait limbah baterai. Proyeksi penggunaan EV mencapai 15 juta unit pada tahun 2030 menunjukkan potensi peningkatan volume limbah baterai yang signifikan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatif terhadap lingkungan jika tidak diimbangi dengan infrastruktur daur ulang yang memadai.

Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon Kementerian Lingkungan Hidup, Ary Sudjianto, menekankan urgensi pengelolaan limbah baterai EV. Menurutnya, Indonesia perlu segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lonjakan limbah baterai dalam kurun waktu 3-4 tahun mendatang. “Cara kita mengolah limbah baterai adalah hal yang perlu diperhatikan jika baterai yang digunakan untuk EV semakin banyak,” tegas Ary dalam sebuah pernyataan pada Senin, 10 Maret 2025. Ketiadaan fasilitas pengolahan baterai EV saat ini menjadi tantangan utama yang harus diatasi. Meskipun demikian, Ary optimistis pengalaman Indonesia dalam mengelola baterai konvensional dapat menjadi landasan pengembangan infrastruktur daur ulang baterai EV. Ia menyebutkan bahwa Indonesia telah memiliki infrastruktur dan industri pengolahan baterai konvensional, serta industri yang memanfaatkan bahan daur ulang dari limbah baterai.

Namun, pengelolaan limbah baterai EV memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan baterai konvensional. Volume limbah yang jauh lebih besar, serta kandungan material baterai EV seperti Nickel Manganese Cobalt (NMC) yang memerlukan teknologi daur ulang spesifik, menuntut kolaborasi erat antara pemerintah, pelaku industri, dan pengembangan kebijakan yang mendukung. Indonesia Battery Corporation (IBC) telah mengambil langkah proaktif dengan merencanakan pembangunan pabrik daur ulang baterai EV pada tahun 2031. Direktur Utama IBC, Toto Nugroho, menjelaskan bahwa proses daur ulang ini krusial karena baterai NMC dapat didaur ulang hingga 99 persen, sehingga nikel dapat dimanfaatkan kembali dalam produksi baterai baru. “Nikel yang digunakan baterai mobil EV ini bisa didaur ulang sehingga nikel bisa digunakan kembali. Ini menjawab solusi ketakutan bahwa nikel kita akan hilang akibat baterai EV,” jelas Toto.

IBC juga sedang menyusun peta jalan untuk mengembangkan ekosistem baterai yang terintegrasi, mulai dari pengadaan bahan baku hingga daur ulang. Namun, Toto memperkirakan proses daur ulang baterai EV baru dapat beroperasi secara efektif pada tahun 2028, mengingat masa pakai baterai EV umumnya sekitar 8 tahun. “Biasanya ada lifecycle sekitar 8 tahun untuk bisa melakukan recycling,” tambahnya. Terlihat jelas bahwa kesiapan infrastruktur daur ulang menjadi kunci keberhasilan transisi menuju ekosistem transportasi hijau yang berkelanjutan. Tantangan ini membutuhkan strategi komprehensif dan kolaborasi multipihak untuk memastikan pertumbuhan industri EV tidak diiringi oleh permasalahan lingkungan yang serius.

Langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan:

  • Pengembangan regulasi dan standar pengelolaan limbah baterai EV.
  • Investasi dalam teknologi dan infrastruktur daur ulang baterai.
  • Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi dalam riset dan pengembangan.
  • Peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya daur ulang baterai EV.
  • Program edukasi dan pelatihan bagi tenaga kerja di sektor daur ulang.