Mantan Direktur Polinema Terjerat Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Lahan, Tim Hukum Tempuh Praperadilan

Kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema), Awan Setiawan, memasuki babak baru. Setelah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) terkait dugaan penyimpangan dalam pengadaan tanah, tim kuasa hukum Awan Setiawan menyatakan akan mengajukan upaya hukum praperadilan.

Didik Lestariyono, salah satu anggota tim kuasa hukum Awan, menilai bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya terkesan prematur dan tidak didasari bukti yang kuat. Ia menekankan bahwa hingga saat ini, belum ada audit resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang secara jelas menyatakan adanya kerugian negara dalam proses pengadaan tanah tersebut.

"Kami memandang penetapan tersangka ini terlalu tergesa-gesa, tanpa dasar kerugian negara yang valid. Oleh karena itu, kami telah menyiapkan gugatan praperadilan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka dan penahanan ini," ujar Didik kepada awak media, Kamis (13/06/2024).

Lebih lanjut, Didik menjelaskan bahwa permasalahan ini bermula ketika Polinema menghentikan pembayaran sisa harga tanah setelah Awan tidak lagi menjabat sebagai direktur. Ia juga mengungkapkan bahwa kasus ini sebelumnya telah bergulir hingga Mahkamah Agung (MA), yang dalam putusannya menyatakan bahwa transaksi jual beli tanah tersebut sah dan mengikat secara keperdataan.

Menurutnya, proses pengadaan tanah untuk perluasan kampus Polinema telah dilakukan sesuai dengan mekanisme dan regulasi yang berlaku, mengacu pada Rencana Induk Pengembangan (RIP) Polinema tahun 2010-2034. Harga tanah yang disepakati, yakni Rp 6.000.000 per meter persegi, dinilai wajar berdasarkan data harga pasar dari instansi yang berwenang dan telah mencakup seluruh kewajiban perpajakan.

"Seluruh kewajiban perpajakan, termasuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak Penghasilan (PPh) dari pihak penjual, sepenuhnya ditanggung oleh pemilik tanah, bukan oleh Polinema," tegasnya.

Selain Awan Setiawan, Kejati Jatim juga menetapkan Hadi Setiawan, pemilik tanah, sebagai tersangka dalam kasus ini. Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim, Saiful Bahri Siregar, mengungkapkan bahwa kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 42 miliar. Pihaknya mengklaim telah memiliki cukup bukti dan saksi untuk menjerat kedua tersangka.

Awan dan Hadi dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang ancaman hukumannya mencapai 20 tahun penjara. Saiful menjelaskan bahwa pengadaan tanah yang dilakukan pada tahun 2019 tidak melibatkan panitia pengadaan tanah. Panitia pengadaan tanah baru dibentuk pada tahun 2020 setelah ada kesepakatan harga antara Awan dan Hadi.

Tanah yang menjadi objek perkara ini terletak di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, dengan luas 7.104 meter persegi dan harga Rp 6 juta per meter persegi, sehingga total biaya mencapai Rp 42.624.000.000. Kejati Jatim menuding Awan menetapkan harga tersebut tanpa melibatkan jasa penilai harga tanah (appraisal), sementara Hadi melakukan jual beli tanpa surat kuasa dari pemilik tanah.

Lebih lanjut, Hadi diduga telah menerima uang muka sebesar Rp 3,8 miliar pada 30 Desember 2020, padahal Surat Kuasa Menjual baru diterbitkan pada 4 Januari 2021. Pada tahun anggaran 2021, Awan selaku Direktur Polinema memerintahkan bendahara untuk melakukan pembayaran tanah kepada Hadi sebesar Rp 22,6 miliar tanpa disertai perolehan hak atas tanah. Pembayaran ini dilakukan seolah-olah lunas dalam satu tahun anggaran, padahal berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), pembayaran seharusnya dilakukan secara bertahap.

Didik juga menambahkan bahwa tanah yang dibeli tersebut ternyata tidak dapat digunakan untuk perluasan kampus setelah dilakukan appraisal ulang. Hasil appraisal menunjukkan bahwa sebagian bidang tanah berdekatan dengan sempadan sungai, sehingga tidak memenuhi syarat untuk pembangunan.