Rumah Panggung: Solusi Inovatif Menghadapi Banjir Jakarta

Rumah Panggung: Solusi Inovatif Menghadapi Banjir Jakarta

Di tengah maraknya permasalahan banjir di Jakarta, inovasi dalam desain hunian menjadi krusial. Salah satu solusi yang terbukti efektif adalah rumah panggung, sebuah model bangunan tradisional yang kini kembali diminati dengan sentuhan modern. Marie, warga Jakarta yang tinggal di daerah langganan banjir, telah membuktikan keefektifan rumah panggung sebagai benteng pertahanan terhadap bencana alam ini. Pengalamannya menghadapi banjir besar pada tahun 2020, yang merendam rumahnya hingga setinggi leher orang dewasa, mendorongnya untuk membangun ulang rumahnya dengan konsep rumah panggung.

Sebelum renovasi, rumah Marie yang dibangun pada era 1980-an dan berada di lahan rendah, menjadi korban banjir parah. Banjir 2020 menjadi titik balik, mendorongnya untuk merancang solusi yang lebih permanen. Dengan bantuan arsitek dan ahli bangunan, Marie membangun rumah panggung tiga lantai di lahan seluas 105 meter persegi. Konstruksi ini menghabiskan waktu enam bulan dan memiliki keunikan tersendiri. Jarak bangunan dengan tanah mencapai 2,5 meter, menciptakan ruang resapan air yang sekaligus berfungsi sebagai area parkir untuk dua mobil saat kondisi normal. Struktur tanah di area resapan ini pun dirancang dengan cermat, terdiri dari lapisan pasir, jaring-jaring, dan batu untuk memastikan kekuatan dan fungsi resapan air secara optimal.

Saat banjir kembali melanda Jakarta pada awal Maret 2025, rumah Marie kembali diuji. Banjir kali ini menggenangi area kolong rumah hingga setinggi betis orang dewasa. Namun, bagian dalam rumah tetap kering dan terlindungi. Meskipun air menggenangi area resapan hingga ke jalan, Marie mengakui bahwa lamanya genangan air, hingga dua hari, lebih disebabkan oleh tingginya debit air di wilayah tersebut dan bukan karena kekurangan pada desain resapan rumahnya. Kendala utama justru terletak pada pemindahan kendaraan dari area kolong rumah yang posisinya lebih rendah daripada jalan, sebuah kondisi yang diperparah oleh kondisi jalan yang juga tergenang.

Sebagai langkah antisipatif, Marie mengecat kaki-kaki tiang rumahnya dengan warna putih. Hal ini bertujuan untuk menandai ketinggian air setiap kali banjir terjadi, guna memantau dan mengevaluasi efektivitas desain rumah panggung tersebut. Selama tiga tahun menempati rumah panggung, Marie bersyukur karena ketinggian air belum pernah melebihi 2,5 meter, menjaga keamanan dan kenyamanan keluarganya. Ketahanan struktur bangunan juga menjadi poin penting yang diunggulkan Marie, menekankan kekuatan dan ketahanan rumah panggung terhadap beban air dan tekanan banjir.

Keputusan Marie untuk tetap tinggal di rumahnya, yang juga merupakan rumah masa kecilnya, didasarkan pada kenyamanan dan lokasi strategis di dekat pusat kota dan tempat kerjanya. Baginya, nilai sentimental rumah tersebut tidak dapat diukur dengan materi, menjadikannya bukti nyata bahwa solusi inovatif, seperti rumah panggung, dapat memberikan kenyamanan dan keamanan bagi penghuninya, meskipun menghadapi tantangan lingkungan seperti banjir.

Kesimpulan: Kisah Marie memberikan gambaran nyata mengenai potensi rumah panggung sebagai solusi hunian di daerah rawan banjir. Dengan perencanaan dan desain yang matang, rumah panggung modern dapat menjadi alternatif yang aman, nyaman, dan berkelanjutan di tengah permasalahan banjir yang semakin kompleks.