Guncangan di Wall Street dan Pasar Kripto: Ancaman Resesi dan Inflasi Menekan Investor

Guncangan di Wall Street dan Pasar Kripto: Ancaman Resesi dan Inflasi Menekan Investor

Penurunan tajam di pasar saham Amerika Serikat (AS) dan kripto pada Senin, 10 Maret 2025, telah mengguncang kepercayaan investor global. Wall Street mencatat kerugian fantastis mencapai 4 triliun dolar AS (sekitar Rp 65,724 triliun) dalam sehari, seiring anjloknya indeks utama. Indeks S&P 500, Nasdaq, dan Dow Jones masing-masing mengalami penurunan lebih dari 2 persen, mencerminkan sentimen pasar yang negatif.

Sektor teknologi menjadi korban paling parah dari gejolak ini. Indeks S&P 500 sektor teknologi ambles 4,3 persen. Saham-saham raksasa teknologi seperti Apple dan Nvidia mengalami penurunan sekitar 5 persen, sementara Tesla mencatat penurunan yang lebih drastis, melebihi 15 persen. Kejatuhan tajam ini dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pemangkasan proyeksi laba Delta Air Lines, yang semakin memperkuat kekhawatiran investor tentang ketidakpastian ekonomi global dan mendorong mereka untuk berlindung pada aset safe-haven seperti obligasi pemerintah AS.

Dampaknya juga terasa di pasar kripto. Bitcoin anjlok sekitar 5 persen, menembus level di bawah 80.000 dolar AS (sekitar Rp 1,31 triliun), sementara Ethereum mengalami penurunan yang lebih signifikan, melebihi 10 persen. Tingginya volatilitas dan tekanan likuidasi menjelang rilis data inflasi Consumer Price Index (CPI) AS pada 12 Maret, serta ancaman shutdown pemerintah AS, semakin memperburuk situasi dan menambah ketidakpastian di pasar.

Analisis Situasi Pasar

Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, memberikan perspektif mengenai gejolak pasar ini. Ia melihat penurunan signifikan ini sebagai indikasi penyesuaian portofolio besar-besaran oleh investor dan manajer aset. Menurut Fahmi, potensi stagflasi—gabungan pertumbuhan ekonomi yang lambat dan inflasi tinggi—beserta risiko resesi AS akibat pengetatan anggaran pemerintah dan kebijakan proteksionis, telah mendorong investor untuk sementara waktu mencari keamanan di aset safe-haven. Kurangnya kejelasan mengenai resolusi berbagai risiko ini, menurutnya, dapat memperpanjang tekanan negatif di pasar saham AS.

Terkait pasar kripto, Fahmi melihat koreksi harga Bitcoin di bawah 80.000 dolar AS sebagai potensi peluang akumulasi bagi investor institusi, khususnya jika Bitcoin dianggap sebagai lindung nilai terhadap inflasi dan ketidakpastian ekonomi. Namun, ia mengingatkan bahwa altcoin, terutama yang terkait dengan proyek AI atau teknologi, lebih rentan terhadap koreksi yang lebih dalam karena valuasi yang terlalu optimis dan korelasinya yang kuat dengan saham teknologi seperti Nvidia.

Prospek Ke Depan: Inflasi dan Kebijakan Pemerintah AS sebagai Penentu Utama

Ke depan, pergerakan pasar akan sangat bergantung pada laporan inflasi dan kebijakan fiskal AS. Konsensus pasar memperkirakan inflasi CPI AS akan naik sekitar 0,23 persen pada Maret, lebih rendah dari kenaikan 0,5 persen pada Januari. Namun, inflasi tahunan masih berada di kisaran 3 persen, jauh dari target The Fed sebesar 2 persen. Minimnya katalis positif dari KTT Kripto Gedung Putih, dan kemungkinan The Fed menahan suku bunga pada 19 Maret mendatang, membuat tekanan di pasar kripto diperkirakan akan tetap ada. Namun, perubahan sentimen tetap mungkin terjadi, terutama jika Bitcoin semakin diterima sebagai instrumen lindung nilai.

Langkah administrasi Trump untuk mensahkan Strategic Bitcoin Reserve di AS juga berpotensi meningkatkan legitimasi Bitcoin di kalangan investor tradisional dan negara lain yang sedang mengeksplorasi kebijakan serupa. Secara keseluruhan, situasi pasar saat ini masih dipenuhi ketidakpastian, dan investor perlu bersiap menghadapi volatilitas yang tinggi dalam beberapa waktu ke depan.