Polemik Surat Edaran Gubernur Jambi: Kewajiban Shalat Subuh Berjamaah Bagi ASN Picu Kontroversi

Surat Edaran Gubernur Jambi Menuai Kritik Terkait Kewajiban Shalat Subuh Bagi ASN

Kebijakan Pemerintah Provinsi Jambi terkait Surat Edaran (SE) Nomor 4963/SE/BKD-5.3/VI/2025 yang mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) Muslim untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid yang telah ditentukan menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat dan pengamat kebijakan publik. SE ini ditujukan kepada seluruh ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi Jambi, termasuk pengawas dan kepala sekolah. Dalam surat edaran tersebut, ASN Muslim diinstruksikan untuk mengikuti shalat subuh berjamaah setiap hari Jumat di masjid-masjid yang telah ditetapkan oleh pemerintah provinsi. Kebijakan ini sontak menjadi perbincangan hangat dan memicu berbagai reaksi dari berbagai pihak.

Sekretaris Daerah (Sekda) Jambi, Sudirman, menjelaskan bahwa SE ini merupakan respons terhadap kebijakan pemerintah pusat untuk melakukan efisiensi anggaran. Salah satu langkah efisiensi yang diambil adalah dengan mengurangi beban anggaran operasional kantor. Sebagai gantinya, setiap hari Jumat, ASN diperkenankan untuk bekerja dari mana saja (Work From Anywhere/WFA). Sudirman juga menekankan bahwa kebijakan ini sejalan dengan program subuh keliling yang telah dijalankan oleh Gubernur Jambi di awal masa jabatannya. Ia menegaskan bahwa SE ini hanya mengatur ASN Muslim dan meminta masyarakat untuk tidak salah paham. Bagi ASN non-Muslim, pemerintah provinsi memberikan kebebasan untuk memilih kegiatan alternatif seperti gotong royong, senam, atau berolahraga. Pemerintah Provinsi Jambi juga mengklaim bahwa mereka tidak bermaksud mencampuri kebebasan beragama, melainkan ingin menghadirkan program positif dalam rangka efisiensi operasional kantor.

Namun, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Pengamat hukum dan kebijakan publik, Firmansyah, berpendapat bahwa surat edaran tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat seperti undang-undang. Ia menilai bahwa mewajibkan ASN untuk shalat di masjid tertentu dan menjadikannya sebagai tolak ukur kinerja berpotensi melanggar prinsip kebebasan beragama dan otonomi individu dalam beribadah. Firmansyah menegaskan bahwa negara tidak boleh ikut campur dalam mengatur kebebasan beragama seseorang, karena hal ini berpotensi melanggar hak asasi manusia. Ia menambahkan bahwa ASN seharusnya memiliki hak untuk memilih masjid yang ingin mereka kunjungi untuk beribadah, asalkan sesuai dengan syariat dan tidak mengganggu tugas kedinasan. Selain itu, Firmansyah juga mengkhawatirkan aspek teknis dan keselamatan terkait kebijakan ini. Ia menyoroti bahwa banyak ASN yang tinggal jauh dari masjid yang ditunjuk, tidak memiliki kendaraan, atau harus menempuh jalan gelap saat subuh, yang dapat membahayakan keselamatan mereka. Lebih lanjut, Firmansyah menekankan bahwa dalam agama Islam, shalat subuh berjamaah hukumnya sunah muakkadah (sangat dianjurkan), bukan kewajiban mutlak yang berdosa jika ditinggalkan. Mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh agama, menurutnya, sama dengan menambah-nambahkan hukum Islam.

Berikut point-point yang menjadi sorotan dalam polemik ini:

  • Kewajiban yang Dipertanyakan: Kritikus mempertanyakan dasar hukum dan urgensi mewajibkan ASN untuk shalat subuh berjamaah.
  • Potensi Pelanggaran Kebebasan Beragama: Kebijakan ini dinilai berpotensi melanggar hak ASN untuk memilih tempat ibadah sesuai keyakinan masing-masing.
  • Aspek Keselamatan dan Teknis: Jarak tempat tinggal ASN ke masjid yang ditunjuk dan risiko perjalanan subuh menjadi perhatian.
  • Efisiensi Anggaran: Pemerintah Provinsi Jambi mengklaim kebijakan ini sebagai bagian dari upaya efisiensi anggaran operasional kantor.
  • Interpretasi Hukum Islam: Perbedaan pendapat mengenai hukum shalat subuh berjamaah (sunah vs wajib) menjadi perdebatan.

Kebijakan ini terus menjadi perdebatan publik, menyoroti kompleksitas hubungan antara agama, negara, dan hak individu dalam konteks pemerintahan.