Gelombang PHK Hantam Industri Perhotelan Mataram Akibat Penurunan Okupansi
Kondisi suram menghantui industri perhotelan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan lebih dari seribu pekerja terpaksa dirumahkan akibat penurunan tajam tingkat hunian kamar. Asosiasi Hotel Mataram (AHM) melaporkan bahwa gelombang pengangguran ini melanda hampir seluruh hotel, baik yang berbintang maupun non-bintang. Penyebab utama dari situasi ini adalah anjloknya tingkat hunian hotel, yang diperparah oleh minimnya kegiatan pemerintah sebagai dampak dari kebijakan efisiensi anggaran.
Ketua AHM, I Made Adiyasa Kurniawan, mengungkapkan bahwa banyak hotel telah mengambil langkah drastis dengan tidak memperpanjang kontrak karyawan dan tidak lagi memanggil pekerja harian (daily worker) karena sepinya tamu dan minimnya acara pemerintah. "Dengan sepinya hunian hingga event pemerintah pun tidak ada, akibatnya yang sudah terjadi di Kota Mataram ialah karyawan kontrak sudah tidak diperpanjang (lagi). Karyawan yang daily juga sudah nggak dipanggil lagi. Semua hotel sudah melakukan itu," ujarnya.
Adiyasa menjelaskan bahwa para pekerja yang terdampak adalah tenaga kerja kontrak dan pekerja harian yang biasanya dipekerjakan saat ada acara tertentu. Jumlah mereka mencapai ribuan orang. "(Kalau sebut angka) ada 1.000 daily worker sama pekerja kontrak (yang diberhentikan imbas efisiensi). Mereka ini merupakan tenaga-tenaga berpendidikan kualifikasi pariwisata, misalkan housekeeping, food product, food service yang sudah jobless," jelasnya.
Menurut Adiyasa, meski seribuan pekerja dirumahkan, kondisi ini belum bisa disebut sebagai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena mereka masih berpotensi dipanggil kembali jika ada kebutuhan. "Istilahnya diberhentikan sementara. Kami sangat berharap ada aktivitas (di hotel), entah itu aktivitas wisata pemerintah, atau wisata dinas. (Intinya) mereka (bisa) difungsikan lagi," harapnya.
Data dari AHM menunjukkan bahwa tingkat hunian hotel di Mataram terus merosot sejak awal tahun 2025, bahkan tidak mencapai 30 persen. Angka ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana okupansi hotel masih berada di kisaran 50-60 persen. Adiyasa menyoroti bahwa faktor utama dari penurunan ini adalah minimnya event dan kegiatan, terutama sejak awal tahun.
"Ini faktornya (anjloknya okupansi hotel di Mataram) karena tidak ada event (sama sekali), ini mulai dari awal tahun. Biasanya di triwulan pertama angkanya naik, tapi di awal tahun ada Ramadan. Kita awalnya berharap bulan ke empat, lima dan enam bisa naik (okupansinya), tapi bulan ke empat naiknya sedikit (banget)," imbuhnya.
Adiyasa menegaskan bahwa anjloknya okupansi hotel adalah dampak langsung dari kebijakan efisiensi yang tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025. Ia berharap pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran untuk mengadakan acara lokal maupun domestik di hotel-hotel di Mataram. Ia juga menyoroti dampak kebijakan yang lebih luas, termasuk larangan study tour dan wisuda di hotel.
"Besar harapan kami, Pemprov NTB, Pemkot Mataram bisa menyisihkan anggaran untuk berkegiatan di sektor akomodasi. Kalau seperti sekarang nyaris nggak ada, bahkan liburan anak sekolah ada arahan dilarang mengadakan study tour dan wisuda di hotel. Sudah ke mana-mana ini (dampak efisiensi)," tegasnya.
Sebelumnya, Pembina dan Penasihat Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, I Gusti Lanang Patra, telah memperingatkan bahwa kebijakan efisiensi anggaran dapat berdampak signifikan pada sektor akomodasi, dengan potensi penurunan hingga 50 persen. Pemangkasan anggaran ini akan membuat usaha perhotelan semakin terpuruk karena banyak acara dan pertemuan yang dibatalkan.