Pemerintah dan DPR Bahas Standar Kemiskinan Nasional dalam Penyusunan RAPBN 2026

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah melakukan pembahasan mendalam mengenai garis kemiskinan nasional sebagai bagian integral dari proses penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Fokus utama dalam pembahasan ini adalah upaya penghapusan kemiskinan ekstrem, yang menjadi prioritas pemerintah untuk tahun anggaran mendatang.

Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, menjelaskan bahwa berbagai indikator kemiskinan, termasuk garis kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan ekstrem, dan indeks modal manusia, menjadi agenda penting dalam diskusi dengan DPR. Masukan dari pembahasan ini akan menjadi landasan penting bagi pemerintah dalam merumuskan RAPBN 2026.

"Indikator-indikator seperti kemiskinan ekstrem, tingkat kemiskinan secara umum, dan indeks modal manusia, saat ini sedang kami diskusikan secara intensif dengan DPR," ujar Suahasil Nazara dalam sebuah forum ekonomi di Jakarta. "Hasil diskusi ini akan menjadi masukan krusial bagi pemerintah dalam penyusunan RAPBN 2026 yang akan disampaikan pada bulan Agustus nanti."

Pembahasan ini menjadi penting seiring dengan perubahan standar garis kemiskinan ekstrem global yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Per Juni 2025, Bank Dunia secara resmi menaikkan standar tersebut dengan mengadopsi purchasing power parities (PPP) 2021, menggantikan PPP 2017. Dampaknya, international poverty line untuk menghitung garis kemiskinan ekstrem berubah dari 2,15 dollar AS menjadi 3 dollar AS.

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) dalam mengukur garis kemiskinan nasional. Metode ini berbeda dengan pendekatan PPP yang digunakan oleh Bank Dunia. Suahasil Nazara menjelaskan bahwa perbedaan metode ini adalah hal yang wajar karena setiap negara memiliki standar yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan sosial masing-masing.

"Metodologi yang dipilih untuk menentukan garis kemiskinan harus mencerminkan kondisi ekonomi dan masyarakat setempat. Setiap negara memiliki dinamika tersendiri dalam menentukan standar ini," tegasnya.

Dalam konteks RAPBN 2026, pemerintah telah memiliki gambaran awal mengenai proyeksi makro ekonomi. Pendapatan negara diperkirakan berada pada kisaran 11,71 persen hingga 12,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara itu, belanja negara diproyeksikan mencapai 14,19 persen hingga 14,75 persen dari PDB. Dengan proyeksi ini, defisit anggaran diperkirakan berada pada kisaran 2,48 persen hingga 2,53 persen dari PDB.

"Angka-angka ini masih bersifat proyeksi dan dinyatakan sebagai persentase dari Produk Domestik Bruto tahun 2026. Kami terbuka terhadap berbagai masukan untuk mendapatkan proyeksi yang lebih akurat," pungkas Suahasil Nazara.