Janji Pemberantasan Korupsi di Bawah Sorotan: Antara Retorika dan Realitas

Menguji Komitmen Pemberantasan Korupsi: Pidato Versus Tindakan Nyata

Retorika keras Presiden Prabowo Subianto tentang pemberantasan korupsi, yang mencakup ancaman hukuman berat dan pengejaran tanpa henti terhadap pelaku, kini menjadi sorotan publik. Janji-janji yang disampaikan dalam berbagai pidato menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ini sekadar gertakan atau cerminan dari komitmen yang mendalam untuk membersihkan pemerintahan dari praktik koruptif? Publik menanti bukti konkret bahwa kata-kata tersebut diterjemahkan ke dalam tindakan nyata, terutama dalam menindak para menteri yang diduga terlibat dalam praktik korupsi dan konflik kepentingan.

Pelanggaran Konstitusi dan Rangkap Jabatan

Di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat, sorotan tajam tertuju pada para menteri dan wakil menteri yang menikmati rangkap jabatan. Praktik ini, yang jelas-jelas melanggar Undang-Undang Kementerian Negara, menimbulkan pertanyaan tentang prioritas pemerintah. Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 secara tegas melarang menteri untuk merangkap jabatan sebagai:

  • Pejabat negara lainnya
  • Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta
  • Pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD

Fakta bahwa sejumlah menteri dan wakil menteri menduduki posisi strategis di berbagai perusahaan, termasuk BUMN, memicu perdebatan tentang konflik kepentingan dan efektivitas kinerja mereka. Publik mempertanyakan apakah mereka dapat fokus sepenuhnya pada tugas-tugas kementerian jika perhatian mereka terbagi dengan tanggung jawab di sektor lain.

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019, telah memperluas larangan rangkap jabatan ini, tidak hanya berlaku bagi menteri tetapi juga wakil menteri. Tujuannya jelas: memastikan bahwa para pembantu presiden fokus pada tugas-tugas yang memerlukan perhatian khusus di kementerian masing-masing. Namun, pelanggaran terhadap larangan ini terus terjadi, memicu kekecewaan dan keraguan tentang komitmen pemerintah terhadap supremasi hukum.

Tantangan Pemberantasan Korupsi yang Belum Tertangani

Walaupun Presiden Prabowo telah berulang kali menyampaikan ancaman terhadap koruptor, praktik korupsi masih merajalela di berbagai sektor. Kasus-kasus besar seperti korupsi di Bea Cukai, ekspor benih lobster, dan tambang ilegal terus menjadi perhatian publik. Pungutan liar, suap, gratifikasi, dan korupsi pengadaan barang masih menjadi masalah serius di Bea Cukai, terutama di jalur merah dan jalur hijau. Praktik ilegal dalam ekspor nikel dan biji nikel juga merugikan negara triliunan rupiah.

Maraknya tambang ilegal juga menjadi tantangan serius. Pengerukan sumber daya alam secara ilegal tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga membahayakan lingkungan dan memicu konflik sosial. Penegakan hukum yang setengah hati terhadap praktik ilegal ini semakin memperburuk situasi.

Jika masalah korupsi ini tidak segera diatasi, negara akan terus mengalami defisit, BUMN akan terancam bangkrut, dan agenda efisiensi pemerintah akan sulit tercapai. Publik berharap agar Presiden Prabowo tidak hanya menyampaikan pidato-pidato yang menggertak, tetapi juga mengambil tindakan tegas terhadap pejabat-pejabat yang tidak berintegritas dan terlibat dalam praktik korupsi.