OJK Ungkap Strategi Co-payment dalam Asuransi Kesehatan: Upaya Kendalikan Inflasi Medis dan Kecurangan Klaim
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerapkan skema co-payment atau berbagi risiko dalam produk asuransi kesehatan yang akan berlaku mulai tahun 2026. Kebijakan ini mengharuskan nasabah atau pemegang polis untuk menanggung setidaknya 10% dari total biaya klaim yang diajukan.
Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, menjelaskan bahwa inisiatif co-payment merupakan bagian integral dari reformasi industri perasuransian secara menyeluruh. Penerapan model ini, yang telah diimplementasikan di berbagai negara, bertujuan untuk menjaga premi asuransi tetap terjangkau bagi masyarakat luas.
"Kenaikan premi kesehatan yang tak terkendali menjadi pemicu utama penerapan co-payment ini," ungkap Ogi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (12/6/2025).
Dalam kerangka co-payment yang ditetapkan OJK, peserta asuransi akan dikenakan batas maksimum pembayaran sebesar Rp 300 ribu per pengajuan klaim untuk rawat jalan, dan Rp 3 juta per pengajuan klaim untuk rawat inap. Perusahaan asuransi memiliki fleksibilitas untuk menetapkan nilai yang lebih tinggi, asalkan disepakati dalam perjanjian polis.
Implementasi co-payment diharapkan dapat menekan laju inflasi medis di Indonesia, yang saat ini mencapai 10,1% pada tahun 2024 dan diperkirakan akan melonjak menjadi 13,6% pada tahun 2025. Angka ini hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata inflasi medis global. Lonjakan biaya layanan kesehatan dan harga obat-obatan menjadi faktor utama yang mendorong inflasi medis di Indonesia.
"Biaya rumah sakit dan layanan kesehatan secara alami mengalami peningkatan. Inflasi medis melonjak sangat tinggi. Kami juga meminta Kementerian Kesehatan untuk berperan aktif dalam mengendalikan inflasi medis ini," ujar Ogi.
Selain untuk mengendalikan inflasi medis, aturan co-payment juga bertujuan untuk mengurangi potensi klaim berlebihan (over-utilization). Dengan adanya tanggung jawab co-payment, diharapkan masyarakat akan lebih bijak dalam memilih layanan kesehatan dan pengobatan yang benar-benar dibutuhkan, sehingga mendorong penggunaan layanan yang lebih berkualitas.
"Over-utilization menjadi permasalahan krusial dalam asuransi kesehatan. Dengan adanya co-payment, pemegang polis atau peserta asuransi diharapkan dapat lebih terkontrol dalam penggunaan obat-obatan dan layanan kesehatan. Jika semua biaya ditanggung oleh asuransi, kecenderungan untuk menerima semua tawaran layanan akan lebih tinggi," jelasnya.
Skema co-payment juga diharapkan dapat meminimalisir potensi penyalahgunaan atau fraud dalam pengajuan klaim. Potensi fraud dapat berasal dari berbagai pihak, termasuk perusahaan asuransi dan rumah sakit.
"Data yang kami pantau di negara lain menunjukkan bahwa 5-10% klaim asuransi kesehatan terindikasi fraud. Di Indonesia, kami memperkirakan angka ini sekitar 5%, yang meliputi klaim fiktif atau penggunaan dokumen palsu. Kondisi-kondisi ini menjadi perhatian utama kami," pungkas Ogi.