Kelas Menengah Tertekan: Ancaman Bagi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?
Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 sebesar 4,7 persen, dengan sedikit peningkatan menjadi 4,8 persen pada 2026. Proyeksi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kemampuan Indonesia mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, yang diperlukan untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045. Di tengah optimisme yang digaungkan, realitas di lapangan menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan, yakni penurunan konsumsi masyarakat, peningkatan utang, dan tekanan yang semakin besar pada kelas menengah sebagai penggerak utama ekonomi.
Erosi Kelas Menengah: Dampak Terhadap Konsumsi Domestik
Dalam lima tahun terakhir, terjadi penurunan signifikan pada jumlah kelas menengah di Indonesia. Data menunjukkan penurunan dari 57,3 juta orang pada 2019 menjadi 47,9 juta pada 2024, yang mencerminkan penurunan sekitar 9,4 juta orang. Proporsi kelas menengah dalam populasi juga mengalami penurunan, dari 21,5 persen menjadi hanya 17,1 persen. Penurunan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan analis mengenai kemampuan konsumsi domestik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, kelompok "aspiring middle class" atau kelompok rentan yang berada tepat di bawah kelas menengah, justru mengalami peningkatan dari 128,9 juta menjadi 137,5 juta orang dalam periode yang sama. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa banyak rumah tangga kehilangan daya beli dan mengalami penurunan kelas secara ekonomi. Stagnasi pendapatan dan akumulasi utang menjadi faktor utama yang memicu fenomena ini.
Tekanan Ekonomi: Antara Pendapatan Stagnan dan Beban Utang
Survei terbaru menunjukkan bahwa hampir separuh responden merasakan penurunan daya beli, meskipun inflasi secara umum terkendali. Masalah utamanya bukanlah pada harga, melainkan pada stagnasi pendapatan riil yang tidak sebanding dengan peningkatan biaya hidup. Akibatnya, banyak keluarga kelas menengah yang terpaksa bergantung pada utang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Data dari Pegadaian menunjukkan peningkatan signifikan dalam pinjaman, sementara pinjaman daring juga mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengeluaran seringkali melebihi pendapatan, bahkan untuk kebutuhan dasar. Konsumsi rumah tangga di Indonesia hanya tumbuh 4,89 persen secara tahunan pada kuartal I 2025, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang tumbuh 4,98 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan kontributor utama terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Perlambatan konsumsi ini turut menyeret pertumbuhan ekonomi nasional, yang hanya tumbuh 4,87 persen pada periode yang sama. Bahkan, pengeluaran untuk sektor non-esensial seperti pakaian dan alas kaki hanya tumbuh 3,48 persen, yang mencerminkan penurunan daya beli masyarakat. Fenomena ini mengkonfirmasi bahwa masyarakat semakin selektif dalam membelanjakan uangnya.
Faktor Struktural dan Kehilangan Kepercayaan Investor
Selain tekanan jangka pendek, terdapat pula faktor struktural yang memperburuk situasi, yaitu ketergantungan ekonomi pada sektor informal yang tidak stabil. Sebagian besar pekerja di sektor informal mengalami stagnasi pendapatan, sementara sektor manufaktur yang berpotensi menyerap tenaga kerja formal dengan gaji layak belum berkembang secara optimal. Kombinasi ini mengakibatkan banyak rumah tangga tidak memiliki jaring pengaman ekonomi yang kuat.
Kondisi ini juga berdampak pada kepercayaan investor. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mengalami penurunan signifikan, didorong oleh kekhawatiran terhadap daya beli dan tekanan inflasi sektoral. Jika tren ini berlanjut, Indonesia berpotensi menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang lebih serius dan kehilangan kekuatan konsumsi yang selama ini menopang stabilitas ekonomi.
Perlunya Kebijakan yang Progresif
Pemerintah perlu merancang kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi masalah ini. Kebijakan tersebut harus mencakup bantuan langsung, penguatan daya beli, dan penciptaan lapangan kerja formal yang berkualitas. Program-program seperti Kartu Prakerja perlu diperluas cakupannya dan ditingkatkan kualitasnya agar dapat menjangkau kelompok rentan yang turun dari kelas menengah. Selain itu, program padat karya tunai di desa-desa perlu diperluas agar dapat menyerap angkatan kerja informal yang menganggur atau semi-menganggur.
Insentif fiskal seperti tax holiday mini dan pengurangan PPh Final bagi UMKM yang menyerap tenaga kerja formal dapat menjadi dorongan penting bagi sektor ini. Skema seperti ini dapat dirancang berbasis performa, misalnya diberikan pada UMKM yang mampu meningkatkan skala bisnis atau bertransformasi ke ekosistem digital. Pendidikan vokasional dan program re-skilling digital juga penting untuk mendorong mobilitas sosial dan ketahanan ekonomi rumah tangga.
Selama ini, kelas menengah dianggap sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, daya beli mereka mengalami tekanan serius, seiring dengan perlambatan konsumsi rumah tangga, stagnasi pendapatan, dan meningkatnya beban utang. Fenomena ini bukan sekadar wacana, melainkan kenyataan yang tercermin dalam data ekonomi terbaru. Jika daya beli kelas menengah terus menurun tanpa respons kebijakan yang progresif, maka cita-cita menuju Indonesia Emas 2045 bisa menjadi sulit dicapai.