Wacana Perpanjangan Usia Pensiun ASN: Antara Perang Talenta dan Regenerasi Birokrasi
Polemik Usulan Perpanjangan Masa Pensiun ASN: Menakar Dampak pada Regenerasi dan Daya Saing Talenta
Wacana perpanjangan usia pensiun Aparatur Sipil Negara (ASN) kembali mencuat, memicu perdebatan publik yang tak hanya berkutat pada angka harapan hidup, tetapi juga implikasinya terhadap manajemen talenta di birokrasi. Surat dari Dewan Pengurus Nasional Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) menjadi pemicu, namun argumentasi yang mendasarinya dinilai kurang komprehensif.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) turut memberikan dukungan dengan membandingkan usia pensiun ASN di Indonesia dengan negara lain seperti Jepang dan Singapura. Namun, penyederhanaan masalah ini berpotensi menimbulkan kegaduhan, mengingat kompleksitas persoalan yang ada. Analisis mendalam terhadap kinerja ASN menjelang pensiun, komposisi pejabat struktural dan fungsional, beban fiskal negara, serta tingkat literasi digital ASN generasi X di era transformasi digital menjadi krusial untuk dipertimbangkan.
Ancaman Mobilitas Karir Generasi Muda
Usulan ini berpotensi menghambat mobilitas karier generasi muda dan menurunkan daya tarik sektor publik bagi talenta potensial. Sektor privat akan tetap menjadi pilihan utama bagi lulusan terbaik jika tidak ada intervensi yang tepat. Dalam manajemen talenta, tahapan akuisisi, pengembangan, retensi, dan penempatan talenta menjadi kunci. Kebijakan perpanjangan usia pensiun harus dikaji secara mendalam dengan melibatkan berbagai pihak terkait.
Tanpa agenda yang komprehensif, implementasi kebijakan ini dapat mengganggu siklus manajemen talenta, terutama dalam rekrutmen dan retensi. Birokrasi, sebagai mesin penggerak pemerintah, harus diisi oleh talenta terbaik yang direkrut dengan prinsip meritokrasi.
Citra ASN dan Tantangan Kompetensi
Citra profesi ASN menjadi faktor penting dalam menarik dan mempertahankan talenta, terutama di era demokratisasi informasi. Pemetaan potensi dan kompetensi yang dilakukan BKN pada tahun 2017 menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil pejabat pimpinan tinggi yang memiliki potensi dan kompetensi tinggi. Hal ini menimbulkan skeptisisme terhadap kualitas manajerial birokrasi.
Temuan ini menjadi alarm bagi perlunya regenerasi dan pembenahan mendasar dalam sistem manajemen talenta birokrasi. Alih-alih mempertahankan status quo dengan perpanjangan usia pensiun, seharusnya dilakukan upaya signifikan dalam pengembangan kapasitas ASN.
Persepsi Negatif dan Prioritas Generasi Muda
Reaksi publik menunjukkan bahwa usulan ini menimbulkan polemik dan persepsi negatif terhadap peta karier ASN. Penambahan masa pensiun dapat memicu kemandekan regenerasi kepemimpinan, menghambat lingkungan kerja yang adaptif terhadap perubahan, dan membatasi pengembangan kompetensi pegawai.
Generasi muda menempatkan pengembangan diri, keseimbangan kerja-hidup, dan kesempatan tumbuh dalam karier sebagai prioritas utama dalam memilih tempat bekerja. Jika pengelolaan sumber daya birokrasi tidak dibarengi dengan strategi regenerasi dan pengembangan talenta yang progresif, sektor publik akan kehilangan daya saing.
Memenangkan Perang Talenta
Ed Michaels dalam bukunya The War for Talent mengidentifikasi langkah-langkah untuk memenangkan persaingan talenta, termasuk:
- Menciptakan proposisi nilai karyawan yang unggul.
- Membangun strategi perekrutan jangka panjang.
- Mengembangkan potensi manajer melalui pengalaman kerja, pelatihan, coaching, dan mentoring.
- Memperkuat kumpulan talenta dengan berinvestasi pada karyawan berkinerja tinggi, mengembangkan karyawan potensial, dan mengambil tindakan tegas terhadap karyawan yang tidak memenuhi standar.
- Menanamkan pola pikir menyeluruh bahwa keunggulan kompetitif berasal dari kualitas talenta di semua tingkatan.
Untuk mengisi birokrasi dengan ASN berkualitas, pemerintah perlu berani mempensiunkan dini ASN dengan kompetensi dan motivasi rendah (deadwood), serta memberikan jalur percepatan karier bagi talenta muda yang unggul dan berkinerja tinggi.
Usulan penambahan usia pensiun dapat dipertimbangkan jika disertai bukti peningkatan kualitas kinerja, kualifikasi, dan kompetensi ASN. Kebijakan ini harus didasarkan pada kajian data yang komprehensif agar rasional dan akuntabel. Jika tidak, kebijakan ini berisiko menjadi pemborosan anggaran dan agenda politik terselubung, mengalihkan dana yang seharusnya untuk masyarakat untuk membiayai aparatur yang tidak produktif.