DPR Mendukung Syarat Pendidikan Sarjana Hukum bagi Penyidik dalam Revisi KUHAP

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunjukkan sinyal positif terhadap usulan untuk memperketat kualifikasi pendidikan bagi penyelidik dan penyidik. Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, menyatakan dukungannya terhadap gagasan yang mewajibkan minimal gelar sarjana hukum bagi aparat penegak hukum yang bertugas dalam proses penyidikan.

Politisi dari Partai NasDem tersebut menilai bahwa usulan ini sangat rasional dan relevan dengan tuntutan profesionalisme dalam penegakan hukum. Menurutnya, idealnya seorang penegak hukum harus memiliki kompetensi dan kapasitas yang memadai di bidang ilmu hukum agar dapat menjalankan tugasnya secara efektif dan akuntabel.

"Saya kira itu rasional ya dan rasional sekali. Sangat masuk akal karena memang idealnya penegak hukum itu harus punya kompetensi, kapasitas kompetensi di bidang ilmu hukum," ujar Rudianto, menanggapi usulan yang sebelumnya dilontarkan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak.

Rudianto menekankan pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap norma-norma hukum dan delik-delik pidana bagi para penyelidik dan penyidik. Dengan latar belakang pendidikan hukum yang kuat, diharapkan mereka dapat memahami secara komprehensif setiap perkara yang ditangani.

"Sehingga dalam proses sebagai aparat hukum, sebagai penegak hukum, dia paham norma-norma, unsur-unsur, delik-delik dalam pasal-pasal hukum kita. Sehingga dia bisa memahami persoalan hukum," jelasnya.

Namun demikian, Rudianto mengakui bahwa penerapan syarat pendidikan sarjana hukum bagi seluruh penyelidik dan penyidik tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Ia menyoroti kompleksitas struktur organisasi di institusi seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri), di mana terdapat berbagai satuan kerja yang memungkinkan anggotanya menjadi penyelidik dan penyidik setelah mengikuti pendidikan internal.

"Ya makanya tantangannya ke depan seperti itu. Ini kan kepolisian banyak kesatuan ya, ada intelijen, kesatuan serse, kesatuan brimob, ada kesatuan lalu lintas. Banyak kesatuan lah kan?" ujarnya.

Untuk mengatasi tantangan ini, Rudianto mengusulkan agar minimal para petugas yang ditugaskan di satuan reserse, yang secara langsung terlibat dalam proses penyidikan, memiliki latar belakang pendidikan sarjana hukum.

"Saya kira orang yang ditugaskan sebagai penyelidik dan penyidik di satuan reserse ya, minimal pernah ada gelar sarjana hukum. Pernah mengenyam pendidikan hukum," pungkasnya.

Usulan mengenai syarat pendidikan bagi penyelidik dan penyidik ini pertama kali digulirkan oleh Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak. Ia mengusulkan agar Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) mengatur secara tegas bahwa penyelidik dan penyidik harus memiliki pendidikan minimal S1 Ilmu Hukum. Hal ini bertujuan untuk menyetarakan kualifikasi dengan profesi hukum lainnya seperti advokat, jaksa, dan hakim yang telah lama mensyaratkan gelar sarjana hukum.

Selain itu, Johanis Tanak juga mengusulkan agar RKUHAP mengatur mengenai:

  • Tenggang waktu penyidikan yang jelas dan tegas untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan.
  • Batas waktu penanganan perkara pada tahap penuntutan.
  • Penghapusan Penyidik Pembantu.
  • Perlindungan terhadap pelapor.

DPR saat ini tengah mempercepat pembahasan RKUHAP yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pimpinan DPR bahkan telah memberikan izin untuk menggelar rapat dengar pendapat dan pembahasan RKUHAP selama masa reses.