Penerapan Co-Payment Asuransi: Dampaknya pada BPJS Kesehatan dan Asuransi Komersial

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 7 Tahun 2025 yang mengatur penyelenggaraan produk asuransi kesehatan, memperkenalkan mekanisme pembagian risiko (co-payment). Ketentuan ini memicu pertanyaan mengenai dampaknya, terutama bagi peserta BPJS Kesehatan.

SE OJK 7/2025 menetapkan bahwa perusahaan asuransi komersial dapat menerapkan co-payment minimal 10 persen dari total klaim rawat jalan atau rawat inap. Batas maksimum co-payment ditetapkan sebesar Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap. Untuk asuransi kumpulan, pembayaran co-payment dapat ditanggung oleh perusahaan atau peserta, sesuai kesepakatan yang tercantum dalam polis.

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menegaskan bahwa mekanisme co-payment ini tidak berlaku bagi peserta BPJS Kesehatan. Aturan ini hanya berlaku untuk produk asuransi komersial dan akan efektif mulai tahun 2026. Polis asuransi yang masih berjalan saat ini tetap berlaku hingga masa berlakunya habis, kecuali jika produk asuransi kesehatan baru diterbitkan setelah SE ini berlaku.

Salah satu pertimbangan utama OJK menerbitkan SE 7/2025 adalah tingginya inflasi medis di Indonesia. Inflasi medis yang terus meningkat mendorong kenaikan biaya premi asuransi. Kenaikan biaya layanan kesehatan dan obat-obatan menjadi faktor utama yang menyebabkan inflasi medis di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi medis global.

Penerapan co-payment dianggap sebagai praktik terbaik yang telah diterapkan di beberapa negara untuk menekan premi asuransi. OJK berharap bahwa SE 7/2025 dapat memperkuat ekosistem asuransi kesehatan dan meningkatkan perlindungan konsumen.