Dua Kutub Cinta: Sorotan Kamera Reality Show dan Keheningan Suaka Satwa

Kontras Cinta: Dari Panggung Hiburan hingga Hutan Belantara

Dunia hiburan menawarkan panggung gemerlap bernama Love Island, sebuah reality show yang menjanjikan cinta. Di sini, para peserta memulai petualangan dengan memilih pasangan berdasarkan kesan pertama. Namun, alur cerita terus bergulir dengan hadirnya sesi recoupling yang memungkinkan mereka untuk tetap setia atau mencari tambatan hati yang baru. Eliminasi menjadi bagian tak terhindarkan dari kompetisi ini, dengan penilaian yang ketat dan beragam. Pasangan yang berhasil bertahan hingga akhir dan memenangkan hati publik akan menerima hadiah uang tunai. Namun, sebuah kejutan menanti: salah satu dari mereka akan diberikan amplop berisi pilihan krusial, yaitu membagi hadiah atau mengambil semuanya sendiri. Ujian cinta sejati pun dimulai.

Meski mengklaim sebagai ajang pencarian cinta, Love Island sering kali menjadi arena bagi para peserta untuk mengejar popularitas, memperbanyak pengikut di media sosial, atau meraih peluang endorsement. Mereka haus akan validasi eksternal melalui sorotan kamera, yang ironisnya justru menjauhkan mereka dari hubungan yang autentik dan tulus. Para peserta rela membuka diri di hadapan publik, namun sering kali hanya menampilkan lapisan luar, seperti penampilan fisik, gaya bicara, dan persona yang telah dikurasi. Love Island juga menawarkan ilusi kemewahan, dengan vila megah, kolam renang yang menggoda, dan pesta-pesta yang meriah.

Ellis Park: Ketika Cinta Berwujud Konservasi

Di belahan dunia lain, di tengah hutan Sumatera yang rimbun, sebuah kisah cinta yang berbeda terukir. Warren Ellis, musisi Australia yang dikenal sebagai anggota band The Dirty Three dan kolaborator setia Nick Cave and the Bad Seeds, memulai sebuah proyek mulia pada tahun 2021: mendirikan suaka satwa. Pertemuannya dengan Femke den Haas, seorang aktivis hewan yang berpengalaman dalam penyelamatan satwa liar, menjadi titik awal dari ide tersebut. Mereka berdua memiliki visi untuk menciptakan tempat yang aman bagi hewan-hewan yang tidak lagi dapat kembali ke habitat alaminya, baik karena usia, penyakit, atau menjadi korban perdagangan ilegal. Lahirlah Ellis Park, sebuah suaka yang kini menjadi subjek film dokumenter karya Justin Kurzel, sutradara film True History of the Kelly Gang. Film ini bukan hanya sekadar potret kehidupan hewan-hewan di suaka, tetapi juga perjalanan emosional seorang Warren Ellis.

Film ini membawa penonton menjelajahi lanskap Sumatera yang memukau, kembali ke kampung halaman Ellis di Ballarat, Australia, hingga memasuki studio musiknya di Paris. Kita diajak mengintip kehidupan pribadi Ellis, yang selama ini dikenal sangat tertutup. "Sempat ada momen di tengah syuting di mana saya pengen nyetop aja," ungkap Ellis seperti dikutip oleh The Guardian. Ia merasa terlalu membuka diri. Namun, Andrew Dominik, seorang teman sekaligus sutradara, menyemangatinya untuk berani membuka diri jika ingin mendapatkan sesuatu yang berharga dari pengalaman tersebut.

Ellis sendiri merasa ragu ketika mengetahui bahwa ia akan menjadi pusat perhatian dalam film tersebut. "Gampang banget kelihatan kayak orang sok pahlawan, kayak Bono (U2) yang pengen kelihatan keren," ujarnya sambil tertawa. Warren Ellis, yang selama ini menjauh dari sorotan publik, kini mengalami momen-momen rentan emosional tanpa naskah. Ia bahkan merasa canggung jika terlihat seperti seorang pahlawan.

Ellis Park adalah sebuah tempat perlindungan yang nyata, sederhana, dan penuh tantangan. Namun, di sanalah cinta dalam bentuk yang paling murni diwujudkan, memberikan rumah bagi makhluk hidup yang benar-benar membutuhkan kasih sayang dan perawatan.