Perjuangan Hidup Pria Jepang Melawan Sindrom Werner: Penuaan Dini yang Menggerogoti Tubuh
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kisah pilu seorang pria asal Jepang bernama Nagashima menjadi pengingat akan rapuhnya kehidupan. Nagashima, yang kini berusia 43 tahun, harus berjuang melawan kondisi langka yang membuat tubuhnya menua dengan kecepatan sepuluh kali lipat dari orang normal. Kondisi yang dikenal sebagai Sindrom Werner ini telah mengubah drastis hidupnya, merenggut masa mudanya dan menggantikannya dengan serangkaian masalah kesehatan yang umumnya dialami oleh orang lanjut usia.
Perjalanan Nagashima dengan Sindrom Werner dimulai secara bertahap. Pada usia 25 tahun, ia mulai mengalami katarak, diikuti dengan nyeri pinggul yang menyiksa pada usia 28 tahun, dan masalah kulit yang mengganggu di kakinya pada usia 30 tahun. Namun, diagnosis pasti baru ia terima pada usia 33 tahun, ketika dokter mengonfirmasi bahwa ia mengidap Sindrom Werner. Penyakit genetik langka ini menyebabkan penuaan dini yang ekstrem, ditandai dengan keriput, rambut beruban, kebotakan, pengerasan arteri, gagal jantung, diabetes, dan peningkatan risiko kanker.
Sejak diagnosis tersebut, Nagashima telah menjalani serangkaian operasi untuk mengatasi berbagai komplikasi kesehatan yang muncul akibat penuaan dini. Mulai dari operasi jari kaki hingga pinggul dan mata, ia telah berjuang tanpa henti untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Namun, perubahan fisik yang drastis akibat Sindrom Werner membuatnya terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Tak jarang orang mengira usianya sudah mencapai 80 tahunan.
Sindrom Werner adalah penyakit yang sangat langka, terutama di Jepang, di mana diperkirakan mempengaruhi 1 dari 20.000 hingga 40.000 orang. Gejala awal penyakit ini seringkali muncul pada usia remaja atau awal dewasa, dengan rambut beruban sebelum usia 20 tahun. Penderita juga mengalami kerontokan rambut di kulit kepala, alis, dan bulu mata, serta pertumbuhan rambut yang jarang di area tubuh lainnya. Kondisi ini seringkali terkait dengan hipogonadisme, yaitu kondisi di mana ovarium atau testis tidak berfungsi dengan baik, yang dapat mengganggu perkembangan organ seksual dan siklus menstruasi.
Sindrom Werner pertama kali diidentifikasi pada tahun 1996, dan sejak itu hanya ada beberapa kasus yang terdokumentasi di seluruh dunia. Hingga tahun 2008, tercatat hanya 1.487 kasus di seluruh dunia, dengan mayoritas (1.128 kasus) berada di Jepang. Di Rumah Sakit Universitas Chiba, terdapat catatan 269 pasien yang didiagnosis secara klinis dengan Sindrom Werner, di mana 116 di antaranya masih hidup.
Salah satu pasien Sindrom Werner yang dirawat di Rumah Sakit Universitas Chiba adalah Sachi Suga. Kondisinya sangat lemah sehingga ia harus menggunakan kursi roda untuk beraktivitas. Otot-ototnya melemah, membuatnya kesulitan untuk naik dan turun dari bak mandi. Dulu, ia selalu menyiapkan sarapan untuk dirinya dan suaminya, tetapi kini ia tidak mampu berdiri di depan kompor lebih dari satu atau dua menit. Ia terpaksa menyiapkan sup miso pada malam sebelumnya untuk disantap sebelum berangkat kerja pada pukul 5.30 pagi.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada obat untuk Sindrom Werner. Perawatan yang diberikan hanya bertujuan untuk meringankan gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Misalnya, penderita diabetes tipe 2 dapat mengonsumsi obat-obatan dan melakukan perubahan pola makan dan gaya hidup untuk mengendalikan kadar gula darah. Operasi dan kemoterapi dapat dilakukan untuk mengatasi kanker, sementara obat-obatan dapat diberikan untuk melawan pengerasan arteri. Meskipun tidak ada penyembuhan, harapan tetap ada untuk pengembangan terapi yang lebih efektif di masa depan.
Kisah Nagashima dan Sachi Suga adalah contoh nyata dari tantangan yang dihadapi oleh penderita Sindrom Werner. Mereka adalah pejuang yang berani menghadapi penyakit langka ini dengan ketabahan dan semangat pantang menyerah. Dukungan dari keluarga, teman, dan tenaga medis sangat penting untuk membantu mereka menjalani hidup sebaik mungkin.