Bayang-Bayang Rasa Bersalah: Memahami *Survivor Guilt* pada Korban Selamat Tragedi Air India
Tragedi jatuhnya pesawat Air India di Ahmedabad, India, menyisakan duka mendalam. Di tengah reruntuhan dan jenazah, seorang pria bernama Ramesh Vivakushmar (40) ditemukan selamat. Mukjizat ini patut disyukuri, namun bagi sebagian penyintas, selamat seorang diri justru memicu luka batin yang mendalam, sebuah kondisi psikologis yang dikenal sebagai survivor guilt atau sindrom selamat.
Survivor guilt adalah kondisi psikologis kompleks di mana seseorang merasa bersalah karena berhasil selamat dari situasi yang mengancam nyawa, sementara orang lain tidak. Perasaan ini bukan sekadar kesedihan atau trauma biasa, melainkan beban emosional berat yang bisa menghantui penyintas dalam jangka panjang. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa saja gejalanya, dan bagaimana cara menghadapinya?
Memahami Akar Survivor Guilt
Psikolog Mira Damayanti Amir, S.Psi., dari Klinik SAJIVA RSKJ Dharmawangsa menjelaskan bahwa survivor guilt muncul sebagai respons atas pertanyaan batin yang terus menghantui: "Mengapa aku yang selamat?" Perasaan tidak layak, bersalah, bahkan marah bisa bercampur aduk, menciptakan labirin emosi yang membingungkan.
"Bentuk dari survivor syndrome ini salah satunya adalah perasaan bersalah, 'Kenapa aku yang selamat?'," ujar Mira. Kondisi ini, lanjutnya, umum dialami oleh mereka yang selamat dari bencana alam, kecelakaan dahsyat, atau bahkan perang. Emosi yang muncul sangat kompleks dan membingungkan. Bahkan terkadang seseorang merasa tidak layak untuk hidup dan merasa dirinya tidak cukup baik untuk selamat.
Latar belakang budaya juga memegang peranan penting. Individu yang dibesarkan dalam nilai-nilai kolektivisme, di mana pengorbanan diri demi kepentingan orang lain dijunjung tinggi, cenderung lebih rentan mengalami survivor guilt. Mereka mungkin merasa bersalah karena dianggap mendahulukan keselamatan diri sendiri.
Gejala yang Muncul
Survivor guilt tidak hanya berdampak pada kondisi emosional, tetapi juga dapat memicu serangkaian gejala psikologis yang mengganggu, antara lain:
- Rasa bersalah yang berlebihan: Merasa bertanggung jawab atas kematian orang lain, padahal tidak memiliki kendali atas situasi.
- Penarikan diri dari lingkungan sosial: Menghindari interaksi sosial karena merasa tidak pantas bersenang-senang atau bahagia.
- Kehilangan minat terhadap kehidupan: Merasa hampa dan tidak termotivasi untuk melakukan aktivitas yang sebelumnya disukai.
- Sulit menerima kenyataan: Terus menerus menyangkal atau mempertanyakan mengapa dirinya selamat.
- Kecemasan dan depresi: Mengalami gangguan tidur, mudah marah, dan merasa putus asa.
Menemukan Jalan Pemulihan
Meskipun survivor guilt terasa berat, pemulihan tetaplah mungkin. Berikut beberapa langkah yang bisa diambil:
- Akui dan terima perasaan: Jangan berusaha menekan atau mengabaikan rasa bersalah. Sadari bahwa emosi ini adalah bagian dari proses pemulihan.
- Cari bantuan profesional: Psikolog atau psikiater dapat membantu Anda memahami dan mengatasi emosi yang kompleks.
- Perkuat koneksi sosial: Berbagi cerita dengan orang yang dipercaya dapat meringankan beban emosional.
- Temukan makna baru: Libatkan diri dalam kegiatan positif yang memberikan dampak baik bagi diri sendiri dan orang lain.
Dukungan Orang Terdekat
Peran keluarga, teman, dan komunitas sangatlah krusial dalam proses penyembuhan survivor guilt. Kehadiran orang-orang yang memberikan dukungan tanpa menghakimi, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan memberikan rasa aman dapat membantu menumbuhkan kembali semangat hidup.
Penting untuk diingat bahwa perasaan bersalah adalah respons emosional yang wajar. Selamat dari tragedi bukanlah sebuah kesalahan. Memberi ruang bagi penyintas untuk merasa diterima, bukan dihakimi, adalah langkah penting dalam membantu mereka pulih dan melanjutkan hidup.