Eksploitasi Nikel di Raja Ampat dalam Sorotan: Komnas HAM Investigasi Dugaan Pelanggaran HAM Lingkungan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia meningkatkan perhatian terhadap aktivitas pertambangan nikel yang berlangsung di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Lembaga tersebut menyatakan kekhawatiran mendalam bahwa praktik pertambangan ini berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Ketua Komnas HAM RI, Anis Hidayah, mengungkapkan keprihatinannya mengenai potensi dampak negatif pertambangan nikel terhadap lingkungan hidup masyarakat Raja Ampat. Anis menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan.
Temuan awal Komnas HAM mengindikasikan adanya aktivitas pertambangan nikel di enam pulau kecil di wilayah Raja Ampat. Aktivitas ini dilakukan oleh lima perusahaan berbeda, yaitu:
- PT Gag Nikel (Pulau Gag)
- PT Kawei Sejahtera Mining (Pulau Kawei)
- PT Anugerah Surya Pratama (Pulau Manuran)
- PT Nurham (Pulau Waigeo)
- PT Mulia Raymond Perkasa (Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun).
Dari kelima perusahaan tersebut, empat di antaranya telah aktif melakukan kegiatan penambangan. Sementara itu, PT Nurham dilaporkan belum memulai aktivitas pertambangan di Pulau Waigeo.
Komnas HAM menekankan bahwa keenam pulau tersebut termasuk dalam kategori pulau kecil. Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau-pulau kecil seharusnya tidak dieksploitasi untuk kegiatan pertambangan.
Selain kerusakan lingkungan, Komnas HAM juga menyoroti potensi konflik sosial yang dapat timbul akibat perbedaan pendapat antara masyarakat yang mendukung dan menentang pertambangan. Konflik kepentingan terkait sumber daya alam dapat memicu ketegangan horizontal di tengah masyarakat.
Anis Hidayah juga menanggapi pencabutan empat izin usaha pertambangan (IUP) oleh pemerintah. IUP yang dicabut tersebut dimiliki oleh PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Komnas HAM mengapresiasi langkah pemerintah sebagai upaya menghentikan kerusakan lingkungan. Namun, Komnas HAM menekankan perlunya tindakan konkret untuk memulihkan hak-hak masyarakat setempat, termasuk merehabilitasi wilayah bekas pertambangan.
Sebagai respons terhadap situasi ini, Komnas HAM akan segera melakukan pemantauan dan penyelidikan langsung terhadap aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat. Langkah ini bertujuan untuk mengumpulkan fakta dan informasi yang lebih mendalam mengenai dampak pertambangan terhadap lingkungan, masyarakat, serta proses perizinan yang berlaku.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Saurlin P. Siagian, menambahkan bahwa timnya akan berinteraksi langsung dengan masyarakat untuk memahami lebih lanjut potensi konflik horizontal yang muncul akibat pertambangan. Komnas HAM juga akan memantau perkembangan terkait pencabutan empat IUP oleh pemerintah, termasuk mengevaluasi kerusakan lingkungan yang terjadi dan upaya pemulihan yang diperlukan.