Polemik Empat Pulau di Aceh: JK Soroti Keputusan Mendagri yang Dinilai Tidak Sesuai Prosedur
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, menyoroti Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terkait status administratif empat pulau yang sebelumnya dianggap bagian dari Aceh, kini dimasukkan ke dalam wilayah Sumatera Utara. Menurut JK, keputusan ini memiliki potensi cacat formil, mengingat landasan historis dan hukum yang mendasari pembentukan wilayah Aceh.
JK menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 menjadi dasar pemisahan Aceh dari Sumatera Utara. Undang-undang ini secara implisit mengakui wilayah Aceh, termasuk pulau-pulau di sekitarnya. Ia menekankan bahwa perubahan wilayah administratif, terutama yang diatur oleh undang-undang, tidak dapat dilakukan hanya dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Perubahan semacam itu memerlukan revisi undang-undang yang lebih tinggi kedudukannya.
"Kepmen tidak bisa mengubah Undang-Undang," tegas JK.
Lebih lanjut, JK mengingatkan bahwa pemindahan wilayah administratif tidak bisa semata-mata didasarkan pada pertimbangan geografis atau efisiensi semata. Aspek historis dan hukum yang mendasari identitas wilayah juga harus diperhatikan. Ia mencontohkan, masyarakat di pulau-pulau tersebut selama ini membayar pajak ke Kabupaten Singkil, yang menunjukkan keterkaitan administratif dengan Aceh.
Konflik terkait status Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil ini telah berlangsung lama antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Pemerintah pusat, melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, memutuskan memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Keputusan ini memicu reaksi beragam dari kedua daerah, mengingat klaim historis yang dimiliki Aceh dan hasil survei yang dilakukan Kemendagri yang menjadi dasar argumen Sumatera Utara.
Berikut adalah poin-poin penting yang disoroti JK:
- Keputusan Mendagri berpotensi cacat formil karena bertentangan dengan UU Nomor 24 Tahun 1956.
- Perubahan wilayah administratif yang diatur undang-undang memerlukan revisi undang-undang.
- Aspek historis dan hukum harus menjadi pertimbangan utama dalam perubahan wilayah administratif, bukan hanya pertimbangan geografis atau efisiensi.
Polemik ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dan pertimbangan matang dalam menentukan batas wilayah administratif, terutama yang melibatkan sejarah dan identitas suatu daerah. Diharapkan, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah yang bijaksana dan adil untuk menyelesaikan konflik ini, dengan mempertimbangkan semua aspek yang relevan.