Banjir Bekasi: Faktor Perubahan Lingkungan Lebih Dominan Dibandingkan Curah Hujan Ekstrem
Banjir Bekasi: Perubahan Lingkungan, Bukan Sekadar Cuaca Ekstrem
Banjir yang melanda wilayah Bekasi awal Maret 2025 lalu menyita perhatian publik dan memicu diskusi mengenai penyebab utamanya. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR RI pada Selasa (11/3/2025), memberikan pandangan yang mengejutkan. Ia menegaskan bahwa bencana tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh cuaca ekstrem, melainkan lebih dipengaruhi oleh perubahan lingkungan dan tata kelola air yang kurang optimal.
Data curah hujan menjadi bukti kuat pernyataan Dwikorita. Banjir pada tahun 2020, yang intensitasnya mencapai 236 mm per hari, ternyata tidak separah banjir awal Maret 2025. Ironisnya, banjir terbaru terjadi dengan curah hujan yang jauh lebih rendah, berkisar antara 103-141 mm per hari. Perbedaan ini menggarisbawahi peran signifikan faktor lingkungan selain cuaca. Dwikorita menekankan, "Banjirnya justru yang curah hujannya lebih rendah, sampai ke atap. Padahal, yang saat itu curah hujannya sampai 236 mm per hari banjirnya tidak setinggi itu." Pernyataan ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap kondisi lingkungan dan sistem drainase di wilayah Bekasi.
Lebih lanjut, Dwikorita menyoroti perlunya pembelajaran dari peristiwa ini, khususnya dalam konteks persiapan menghadapi arus mudik Lebaran 2025. Wilayah-wilayah yang selama ini mungkin dianggap aman dari banjir karena curah hujannya relatif rendah, perlu diwaspadai. "Kita juga harus mewaspadai zona-zona yang barangkali curah hujannya tidak tinggi. Seperti area Puncak, area Pantura itu menjadi kewaspadaan, meskipun hujan tidak tinggi, namun bisa berpotensi mengalami hambatan yang sangat mengganggu," tegasnya. Peringatan ini menyiratkan perlunya strategi mitigasi bencana yang lebih komprehensif, tidak hanya berfokus pada prediksi cuaca ekstrem, tetapi juga pada faktor lingkungan dan pengelolaan sumber daya air.
Kesimpulannya, banjir Bekasi 2025 menjadi pengingat penting akan kompleksitas bencana alam. Faktor lingkungan, seperti kerusakan ekosistem dan manajemen tata air yang buruk, berperan sangat besar, bahkan mungkin lebih dominan daripada intensitas curah hujan semata. Ke depannya, diperlukan kolaborasi antar instansi dan masyarakat untuk memperbaiki tata kelola lingkungan dan infrastruktur guna meminimalisir risiko bencana serupa di masa mendatang. Pengalaman ini juga seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana, terutama pada periode-periode tinggi mobilitas penduduk seperti musim mudik.
Poin-poin Penting: * Banjir Bekasi 2025 tidak hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem. * Curah hujan pada saat banjir 2025 lebih rendah dibandingkan tahun 2020, namun dampak banjir lebih parah. * Perubahan lingkungan dan tata kelola air menjadi faktor penting penyebab banjir. * Perlunya evaluasi dan peningkatan sistem drainase di wilayah Bekasi. * Kewaspadaan terhadap potensi banjir di wilayah lain, seperti Puncak dan Pantura, meskipun curah hujan tidak tinggi. * Pentingnya pembelajaran dari banjir Bekasi untuk menghadapi arus mudik Lebaran 2025. * Diperlukan kolaborasi dan strategi mitigasi bencana yang lebih komprehensif.