Sengketa Empat Pulau: Jusuf Kalla Soroti Implikasi Harga Diri Aceh dan Landasan Hukum
Sengketa Empat Pulau: Jusuf Kalla Soroti Implikasi Harga Diri Aceh dan Landasan Hukum
Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK), menyoroti sengketa kepemilikan empat pulau yang kini menjadi rebutan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Pulau-pulau tersebut, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, memicu polemik setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan keempatnya masuk ke dalam wilayah administrasi Sumatera Utara.
JK menekankan bahwa bagi masyarakat Aceh, mempertahankan kepemilikan atas pulau-pulau tersebut bukan sekadar persoalan potensi ekonomi. Lebih dari itu, kata dia, ini adalah masalah harga diri dan kepercayaan terhadap pemerintah pusat. Pernyataan ini disampaikan JK dalam sebuah wawancara di kediamannya, menanggapi polemik yang berkembang.
"Bagi Aceh, ini adalah harga diri. Kenapa diambil? Ini juga masalah kepercayaan ke pusat," ujar JK, menekankan pentingnya penyelesaian masalah ini dengan bijaksana demi kemaslahatan bersama.
Landasan Historis dan Hukum
Lebih lanjut, JK menjelaskan bahwa klaim Aceh atas pulau-pulau tersebut didasarkan pada landasan historis dan hukum yang kuat. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 yang menjadi dasar penetapan batas wilayah Aceh. Menurutnya, undang-undang ini menjadi acuan penting dalam perjanjian Helsinki 2005 yang mengakhiri konflik berkepanjangan di Aceh.
"Itu tentu tidak bisa dibatalkan atau dipindahkan dengan Kepmen, karena Undang-Undang lebih tinggi daripada Kepmen," tegas JK, menyoroti potensi cacat formal dalam keputusan Kemendagri yang memindahkan administrasi pulau-pulau tersebut ke Sumatera Utara.
JK juga mengingatkan bahwa pemindahan wilayah tidak bisa hanya didasarkan pada pertimbangan jarak atau efektivitas administratif. Baginya, aspek historis dan legalitas yang mendasari keberadaan suatu wilayah harus menjadi pertimbangan utama.
Potensi Ekonomi dan Masa Depan
Meski tidak menampik potensi sumber daya alam, termasuk minyak dan gas, di sekitar pulau-pulau tersebut, JK menekankan bahwa persoalan kepemilikan saat ini tidak didasarkan pada pertimbangan ekonomi semata. Ia menyebutkan bahwa potensi migas mungkin saja ditemukan di masa depan, seperti yang terjadi di wilayah Andaman, Utara Aceh, namun saat ini belum ada bukti konkret.
"Soal apakah ada faktor ekonomi, sekarang ini tidak ada. Mungkin belakangan hari ada, seperti juga di Andaman, Utara Aceh, tiba-tiba ada gas yang sangat besar. Siapa tahu ada, kita tidak tahu sekarang, sekarang ini belum ada (faktor ekonomi), tapi bisa saja kemudian, itu nanti," tutur JK.
Respon Terhadap Kepmendagri
Keputusan Kemendagri yang tertuang dalam Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau memicu reaksi beragam dari kedua provinsi. Pemerintah Aceh mengklaim memiliki jejak historis yang kuat di pulau-pulau tersebut, sementara Pemerintah Sumatera Utara berpegang pada hasil survei yang dilakukan oleh Kemendagri.
Sengketa wilayah ini sebenarnya telah berlangsung selama puluhan tahun, dan keputusan Kemendagri seolah membuka kembali luka lama. JK berharap agar semua pihak dapat menahan diri dan mengedepankan dialog serta musyawarah untuk mencapai solusi yang adil dan menguntungkan semua pihak.