Eksekusi Rumah Pensiunan TNI AL di Surabaya Kembali Ditunda Akibat Penolakan Massa

Rencana eksekusi sebuah rumah di Jalan dr. Soetomo Nomor 55, Surabaya, milik seorang pensiunan perwira tinggi TNI Angkatan Laut, kembali mengalami penundaan. Pengadilan Negeri Surabaya menjadwalkan ulang proses eksekusi pada 17 Juni 2025, setelah dua upaya sebelumnya terhambat oleh aksi penolakan dari sekelompok massa organisasi masyarakat (ormas).

Penundaan ini didasari pertimbangan keamanan, mengingat potensi kericuhan yang dapat terjadi jika eksekusi tetap dipaksakan. Reno Suseno, kuasa hukum pihak pemohon eksekusi, membenarkan adanya penjadwalan ulang tersebut. Ia menyatakan bahwa koordinasi telah dilakukan dengan juru sita Pengadilan Negeri Surabaya untuk menentukan tanggal eksekusi yang baru.

Reno Suseno menegaskan bahwa eksekusi ini didasarkan pada Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 391/Pdt.G/2022/PN.Sby tanggal 5 Desember 2022, yang telah berkekuatan hukum tetap. Ia meminta semua pihak yang tidak setuju dengan putusan tersebut untuk menempuh jalur hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Keputusan tersebut sudah berkekuatan hukum. Bagi siapa pun yang berkeberatan bisa mengajukan proses hukum sesuai undang-undang yang berlaku," ujarnya.

Ia berharap aparat penegak hukum dapat bertindak tegas dalam mengamankan jalannya eksekusi pada kesempatan berikutnya, serta tidak terpengaruh oleh tekanan dari pihak-pihak yang mencoba menghalang-halangi proses hukum.

"Kami minta polisi tidak kalah dengan aksi premanisme," katanya.

Sengketa kepemilikan rumah ini melibatkan nama Laksamana Soebroto Joedono, mantan Wakil Panglima ABRI pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Awalnya, Laksamana Soebroto Joedono menempati rumah tersebut atas izin dari TNI AL, sebelum kemudian membelinya pada tahun 1972.

Setelah Laksamana Soebroto Joedono meninggal dunia, rumah tersebut diwariskan kepada Tri Kumala Dewi. Sengketa hukum kemudian muncul ketika Hamzah Tedjakusuma mengklaim kepemilikan atas rumah tersebut berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Meskipun Tri Kumala Dewi sempat memenangkan gugatan tersebut, Hamzah Tedjakusuma kemudian menjual SHGB tersebut kepada pihak lain, yang kemudian memicu serangkaian gugatan baru.

Berikut adalah kronologi singkat sengketa kepemilikan rumah tersebut:

  • Awalnya, Hamzah Tedjakusuma menggugat Tri Kumala Dewi berdasarkan SHGB.
  • Hamzah Tedjakusuma menjual SHGB kepada Tina Hinderawati Tjoanda.
  • Tina Hinderawati Tjoanda menjual SHGB kepada Rudianto Santoso.
  • Rudianto Santoso menggugat Tri Kumala Dewi, namun gugatannya ditolak, dan ia bahkan ditetapkan sebagai DPO karena dugaan pemalsuan akta jual beli.
  • Rudianto Santoso menjual SHGB kepada Handoko Wibisono.
  • Handoko Wibisono menggugat Tri Kumala Dewi dan memenangkan gugatan tersebut, menjadi dasar bagi Pengadilan Negeri Surabaya untuk mengeluarkan perintah eksekusi.

Kasus ini mencerminkan kompleksitas sengketa kepemilikan tanah dan bangunan di Indonesia, yang seringkali melibatkan berbagai pihak dan proses hukum yang panjang.